META-LEADERSHIP
Pendahuluan
Mengantisipasi berbagai ancaman yang dihadapi saat ini, sangat dibutuhkan leader yang memiliki kapasitas yang tinggi antar lintas-sektor, bisnis, & nirlaba yang efektif, melalui upaya pengkoordinasian. Pada kondisi ini, dibutuhkan profesional manajemen yang bertanggung jawab & memiliki keterampilan kepemimpinan di luar manajemen tradisional, dalam membuat keputusan. Leader diharuskan untuk membuat keputusan yang sulit setiap hari, mulai dari pengalokasian sumber daya hingga membuat pilihan dengan konsekuensi lainnya. Disisi lain, praktik terbaik ilmu keputusan jarang dibagikan & dimasukkan ke dalam pengembangan kepemimpinan.
Pada 29 September 2016, DomPrep, bekerja sama dengan National Preparedness Leadership Initiative (NPLI) Harvard, menyelenggarakan diskusi di Harvard Faculty Club di Cambridge, Massachusetts, terkait "Leadership: Decision Science" (Kline, 2016[1]). Diskusi dimoderatori oleh Eric McNulty (direktur Research and Professional Programs), dan Richard Serino(tamu NPLI yang terkemuka). Hasil diskusi tersebut kemudian di rangkum Kline dalam tulisannya kedalam 3 bagian besar, yaitu; 1) Framing the Conversation, 2) Examination of Leadership Applications in Past Crises: Successes & Failures, 3) Improving Collective Decision-Making Capacity. Ketiga hal terebut akan dibahas berikut.
Framing the Conversation
Eric McNulty memberikan kerangka kerja & metodologi dari 3 dimensi meta-leadership NPLI:
-
- The Person: Meta-leader mengembangkan kesadaran diri, pengetahuan diri, & pengaturan diri yang tinggi. Mereka membangun kapasitas untuk menghadapi rasa takut dan memimpin diri sendiri dan orang lain keluar dari tekanan menuju tingkat pemikiran dan fungsi yang tinggi.
- The Situation: Dengan informasi yang sering tidak lengkap, meta-leader diharus-kan memetakan situasi untuk menentukan apa yang terjadi, siapa yang menjadi pemangku kepentingan, apa yang mungkin terjadi selanjutnya, dan apa saja titik pilihan dan opsi tindakan yang perlu dilakukan.
- Connectivity: Meta-leader memetakan arah ke depan, membuat keputusan, mengoperasionalkan keputusan itu, dan berkomunikasi secara efektif untuk membuat dukungan dan keterlibatan yang luas.
Bagian penting dari pengambilan keputusan adalah faktor psikologis dan neurologis yang digunakan & dialami para pemimpin dalam lingkungan berisiko tinggi. “Head,” “heart,” dan “gut” adalah aspek intrinsik manusia dalam proses pengambilan keputusan. McNulty menguraikan bahwa "head" mempertimbangkan komponen analitis dan kuantitatif dari suatu situasi, "heart" memeriksa dimensi moral dan dimensi etis dari suatu keputusan, sementara "gut" terkait sifat intuitif pengambilan keputusan.
Keputusan perlu diperiksa melalui pusat di mana mereka dibuat: operasional, politik, dan etis. Richard Serino menjelaskan, “Sebagian besar keputusan yang kami buat pada awalnya bersifat operasional, apa yang harus kami lakukan untuk menyelesaikan pekerjaan, untuk melakukannya saat ini, dan ke mana kami harus pergi ... tetapi kemudian ... bagaimana [kehadiran politisi] mempengaruhi proses pengambilan keputusan sebagai pemimpin?" Serino kemudian menjelaskan atribut dari seorang pemimpin yang baik adalah kemampuan untuk memimpin, tetapi me-mimpin & juga membina hubungan dengan banyak orang yang akan bekerja dengan manajer merupakan bagian integral dalam menyelesaikan tugas yang diperlukan selama krisis. Komponen etis dihadapkan dengan tantangan untuk mengetahui bahwa keputusan yang tepat telah diambil bahkan saat pilihan itu tidak lagi populer.
Examination of Leadership Applications in Past Crises: Successes & Failures
Untuk menentukan strategi terbaik yang digunakan selama keadaan darurat, perlu terlebih dahulu memeriksa keberhasilan dan kegagalan keputusan dari krisis di masa lalu. Susunan peserta multijurisdiksi dan multidisiplin menghasilkan berbagai contoh nyata terkait: insiden penembakan Orlando pada Juni 2016; insiden penembakan Brigham and Women Hospital pada Januari 2015; Bom Boston Marathon pada bulan April 2013; Worcester, Massachusetts, insiden kebakaran pada Desember 1999; serta banyak badai dan bencana alam lainnya. Melalui setiap diskusi, tema umum terus muncul, seperti: upaya pemulihan, identifikasi hasil yang diinginkan, fleksibilitas dalam kebijakan dan pelatihan dengan meninjau “apa” dan “mengapa” sesuatu terjadi.
Komponen pemulihan dari suatu insiden terdiri dari beragam kebutuhan. Serino menjelaskan bahwa, "Kenyataannya kita tidak berencana untuk melakukan pemulihan ... kita tidak menghabiskan banyak waktu dan upaya, bahkan uang”. Perlu dilakukan pergeseran yang mempengaruhi pengeluaran & perencanaan untuk upaya pemulihan meningkat. Departemen penanggulangan dan pemulihan sering terpisah satu sama lain, terutama dalam organisasi yang lebih besar. Upaya pemulihan yang berhasil adalah upaya yang mendukung masyarakat untuk membangun kembali dirinya agar merasa aman kembali. Sangat penting bahwa sumber daya dialokasikan untuk mempersiapkan pemulihan pasca insiden dan tidak hanya berfokus pada respons terhadap suatu insiden.
Keputusan yang berhasil dibuat selama keadaan darurat saat para pemangku kepentingan & manajer darurat berkolaborasi untuk menentukan hasil yang diingin-kan. Menggabungkan keputusan & hasil membuat strategi yang lebih jelas, menghi-langkan langkah2 tanpa persiapan yang tidak mengarah pada hasil akhir yang diingin-kan. McNulty menekankan bahwa orang & organisasi yang berbeda membuat kepu-tusan yang tidak sinkron selama krisis, sehingga berbagai pemangku kepentingan membuat keputusan yang selaras dengan hasil yang diinginkan.
Pelatihan merupakan bagian integral dari respons cepat selama insiden, ini membu-tuhkan kerja sama sektor publik & swasta. Protokol latihan memungkinkan profesional untuk bereaksi dengan cepat, tetapi penting bahwa pelatihan dilakukan dengan cara yang memungkinkan fleksibilitas selama insiden terjadi. Terkadang manajer dihadapkan dengan sesuatu yang belum dipelajari sebelumnya. McNulty menyatakan bahwa penting untuk memeriksa "apa yang masuk ke dalam protokol ... tetapi juga memahami mengapa, karena konteksnya kemungkinan telah bergeser saat kebijakan itu ditetapkan, ke situasi yang dihadapi sekarang". Laporan tindakan akan fokus pada komponen "apa" & "mengapa" dari suatu keputusan, selain itu juga menginformasikan kebijakan di masa mendatang. Salah satu keberhasilan yang dicatat adalah keinginan para profesional untuk bahan belajar satu sama lain, & laporan tindakan yang berkembang dengan baik memberikan jalan untuk pembelajaran di masa mendatang.
Improving Collective Decision-Making Capacity
Meningkatkan kapasitas pengambilan keputusan kolektif perlu dimulai di tingkat kepemimpinan. Meningkatkan jumlah keragaman di antara para pemimpin & tim akan meningkatkan basis pengetahuan kolektif di antara individu yang bekerja bersama. Latar belakang yang beragam & perbedaan gender menghasilkan berbagai pendapat dan cara meninjau suatu masalah. Demografi komunitas manajemen secara perlahan berkembang, kepemimpinan dan tim perlu mengetahui perubahan itu untuk memaksimalkan kecerdasan kolektif mereka. Proses pengambilan keputusan harus otomatis tanpa mengabaikan budaya kolaborasi.
Ada perbedaan antara pendidikan & pelatihan. Dalam memberikan masyarakat umum & semua yang bertanggung jawab atas tindakan tanggap bencana, pendidikan memberi keterampilan untuk membangkitkan pemikiran rasional. Sedangkan pelati-han adalah pengalaman yang dipelajari. Pelatihan memiliki manfaat dalam ingatan & kebiasaan, tetapi perlu diingat bahwa fleksibilitas juga diperlukan. Bekerja dalam kebi-jakan ketat yang berlaku, tidak menyebabkan elastisitas & memberikan anggota tim kemampuan untuk mengandalkan pendidikannya. Pemimpin perlu mengidentifikasi perbedaan antara ketertiban & kontrol. Bagian dari proses pendidikan adalah memungkinkan anggota tim untuk berfungsi dalam perannya setiap hari, & hal ini memungkinkan lebih banyak kelonggaran tanggung jawab selama kegiatan.
[1] Keerri Kline, 2016, Making Tough Calls: Meta-Leadership for Critical Decisions