MENGKRITISI PERBEDAAN PENGAKUAN “DANA APBD” MENURUT PERMENDAGRI 61 TAHUN 2007 DENGAN PERMENDAGRI 64 TAHUN 2013
Oleh Tubagus Raymond
Setiap tahun, RSD atau Puskesmas BLU harus menyusun laporan keuangan berbasis Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Secara tekhnis laporan keuangan tersebut akan mengacu pada PERMENDAGRI 61 tahun 2007 (sebagai BLUD) dan PERMENDAGRI 64 tahun 2013 (sebagai SKPD PEMDA). Secara umum, kewajiban untuk menyajikan laporan keuangan bagi RSD, baik sebagai BLUD maupun sebagai SKPD PEMDA adalah sbb; 1) Neraca, 2) Laporan Operasional (LO), 3) Laporan Realisasi Anggaran (LRA), 4) Laporan Arus Kas (LAK), dan 5) Laporan Perubahan Ekuitas (LPE).
Satu hal yang hingga saat ini masih “mengganjal” bagi penulis adalah perbedaan pengakuan atas “dana APBD/APBN” dalam pelaporan keuangan versi 2 PERMENDAGRI tersebut. PERMENDAGRI 61 2007 mengakui “dana APBD/APBN” sebagai pendapatan dalam Laporan Operasional (LO). Sedangkan PERMENDAGRI 64 2013 mengakui dana APBD bukan sebagai pendapatan melainkan sebagai penambahan ekuitas (RK PPKD). Perbedaan ini akan mengakibatkan perbedaan dalam total pendapatan dalam LO.
Bagi penulis, pengakuan dana pemerintah daerah (APBD) sebagai pendapatan menurut PERMENDAGRI 61 2007 kurang tepat, dengan beberapa alasan.
Pertama. Sebagai bagian/milik pemerintah daerah, BLUD sudah seharusnya mendapatkan bantuan (dalam bahasa akuntansi disebut dengan “penambahan ekuitas”) apabila membutuhkan, untuk menjaga keberlangsungan organisasinya. Dana APBD yang berasal dari pemerintah daerah sebagai pemilik, harusnya diakui sebagai “penambahan ekuitas” pemilik.
Kedua. Pengakuan dana APBD sebagai pendapatan menyalahi definisi pendapatan menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan International Accounting Standard (IAS). Sebagai gambaran, berikut definisi pendapatan menurut SAK & IAS.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 23 tentang Pendapatan Pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal perusahaan selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Pernyataan ini harus diterapkan dalam akuntansi untuk pendapatan yang timbul dari transaksi dan peristiwa ekonomi berikut ini: (a) penjualan barang; (b) penjualan jasa; dan (c) penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak-pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti dan dividen. |
International Accounting Standard 18 (2009); Revenue Revenue is the gross inflow of economic benefits during the period arising in the course of the ordinary activities of an entity when those inflows result in increases in equity, other than increases relating to contributions from equity participants. This Standard shall be applied in accounting for revenue arising from the following transactions and events: a) the sale of goods; b) the rendering of services; and c) the use by others of entity assets yielding interest, royalties and dividends. |
Kedua standar diatas secera jelas menegaskan bahwa pendapatan merupakan arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul atas aktivitas normal perusahaan dan tidak berasal dari kontribusi pemilik. Mengacu pada kedua standar diatas, dapat disimpulkan bahwa seharusnya “masuknya dana APBD” ke BLUD tidak boleh diakui sebagai “pendapatan”, tetapi diberlakukan seperti PERMENDAGRI 64 2013 yaitu sebagai penambah ekuitas (RK-PPKD). Pengakuan “dana APBD/APBN” sebagai pendapatan akan mengakibatkan total pendapatan dalam LO akan terlihat besar dan Surplus/Defisit juga akan terlihat besar.
Ketiga. Pengakuan ‘dana APBD/APBN” sebagai pendapatan akan menyulitkan dalam melakukan laporan keuangan konsolidasi terutama di level PEMDA.
Berdasarkan uraian diatas, sudah seharusnya Kementrian Dalam Negeri mengevaluasi kembali PERMENDAGRI 61 2007 karena laporan keuangan BLUD mengacu pada PERMEN ini. Menurut pendapat penulis, perubahan PERMEN ini difokuskan saja pada format LO yang tidak lagi mengakui “dana APBD” sebagai pendapatan.