PENGAKUAN EMOSIONAL & INTELEKTUAL (TERMASUK PROSES YANG ADIL) DALAM PERUMUSAN EKSEKUSI STRATEGI
Pendahuluan
Proses yang adil merupakan hal penting dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang, dan akan sangat bernilai dalam perumusan strategi. Karena, ketika individu merasa nilai intelektual mereka diakui, maka mereka akan bersedia berbagi pengetahuan. Tulisan ini akan memaparkan tentang teori pengakuan emosional dan intelektual (termasuk proses yang adil) dalam perumusan & eksekusi strategi. Tulisan ini tetap mengacu pada buku Renée Mauborgne & W. Chan Kim (2005) berjudul, Blue Ocean Strategy(BOS).
Kenapa Proses yang Adil Penting?
Kenapa proses yang adil itu penting dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang? Secara khusus, kenapa kepatuhan atau pelanggaran terhadap proses yang adil dalam perumusan strategi memiliki kekuatan mewujudkan atau mengandalkan eksekusi suatu strategi? Ini semua karena pengakuan emosional dan intelektual. Secara emosional, individu mencari pengakuan terhadap nilai mereka, bukan sebagai “buruh”, “personalia”, atau “sumber daya manusia”, melainkan sebagai manusia yang diperlakukan dengan rasa hormat.
Individu juga ingin nilai individu mereka dihargai dimana pun level mereka dalam organisasi. Secara intelektual, individu mencari pengakuan bahwa ide-ide mereka diperhatikan dan bahwa orang lain merasa mereka memiliki intelektualitas yang layak untuk mendapatkan penjelasan. Rujukan berulang kali kepada “orang” dan “manusia” dalam hasil wawancara dengan para SDM menguatkan poin bahwa manajer harus melihat nilai yang hampir-hampir universal dari pengakuan yang emosional dan intelektual yang diberikan oleh proses yang adil.
Teori Pengakuan Emosional dan Intelektual
Menggunakan proses yang adil dalam perumusan sangat terkait dengan pengakuan emsional dan intelektual. Dalam praktik terbukti bahwa ada semangat untuk memercayai dan menghargai individu, sebagaimana juga ada kepercayaan mendalam kepada pengetahuan, bakat, dan keahlian individu. Ketika individu merasa nilai intelektual mereka diakui, mereka bersedia berbagi pengetahuan. Malahan, mereka merasa terinspirasi untuk meneguhkan dan membuktikan ekspektasi yang diminta dari nilai intelektual mereka, sehingga mereka pun terdorong mencetuskan ide-ide aktif dan berbagi pengetahuan. Sama halnya, ketika individu diakui secara emosional, mereka merasa secara emosional terikat dengan strategi tersebut dan terinspirasi untuk memberikan yang terbaik. Sebenarnya, dalam studi klasik Frederick Herzberg mengenai motivasi, mengatakan bahwa pengakuan mampu mengilhami motivasi intrinsik yang kuat, sehingga orang mampu bekerja melebihi tugas yang sebenarnya dan mampu memberikan kerja sama secara sukarela. Jadi, jika proses yang adil mampu memberikan pengakuan intelektual dan emosional, orang akan mampu secara lebih baik menerapkan pengetahuan dan keahlian mereka, dan mereka akan menggerakkan upaya sukarela dalam bekerja sama menyukseskan pengeksekusian strategi perusahaan.
Namun, ada sisi lain dari hal ini yang harus diperhatikan, yaitu pelanggaran terhadap proses yang adil dan, dengan itu, tidak mengakui nilai intelektual dan emosional dari individu. Pola pemikiran dan perilaku yang teramati bisa diringkaskan sebagai berikut. Jika individu tidak diperlakukan seakan-akan pengetahuan mereka dihargai, mereka akan terhina secara intelektual dan tidak akan mau berbagi ide dan keahlian mereka; sebaliknya, mereka akan menyimpan pemikiran dan ide-ide kreatif terbaik mereka sehingga pengetahuan-pengetahuan terbaru pun tidak akan keluar. Kemudian, mereka juga akan menolak nilai intelektual orang lain. Seakan-akan mereka berkata, “Anda tidak menghargai ide saya, jadi saya tidak menghargai ide Anda dan saya pun tidak memercayai atau memedulikan keputusan strategis yang anda capai.”
Sama halnya, jika nilai emosional seseorang tidak diakui, mereka akan merasa marah dan tidak akan mau mengerahkan tenaga mereka dalam Tindakan. Sebaliknya, mereka akan bekerja bermalas-malasan dan melakukan upaya yang kontraproduktif, termasuk sabotase, seperti terjadi dalam kasus pabrik Chester (lihat tulisan sebelumnya). Ini kerap membuat pegawai menuntut ditariknya strategi yang telah dipaksakan secara tidak adil, sekalipun strategi itu bagus (meskipun strategi itu penting bagi keberhasilan perusahaan atau bermanfaat bagi pegawai dan manajer). Karena tidak percaya terhadap proses perumusan strategi, orang kehilangan keyakinan pada strategi yang dihasilkan. Demikianlah kekuatan emosional yang bisa dipicu oleh proses yang adil.