PERMASALAHAN LIMBAH MEDIS DI RS

Pendahuluan
Aktivitas pelayanan kesehatan seringkali meninggalkan berbagai macam limbah medis. Sampai saat ini, limbah medis masih memerlukan perhatian dan penanganan secara serius. Pada tulisan ini, kami mengangkat satu kasus terkait pengolahan limbah medis di Indonesia. Kasus berikut, mengacu pada pemberitaan dalam situs jatim.suara.com yang dipublikasi pada tanggal 15 Agustus 2019:
“Sekitar 70 ton dari 290 ton limbah medis di Indonesia terbengkalai tak bisa dikelola setiap harinya. Padahal, sebanyak 2.820 rumah sakit dan 9.884 puskesmas di Indonesia selalu menghasilkan timbunan limbah medis tiap hari. Belum lagi klinik, unit tranfusi dan apotik yang menghasilkan limbah medis. Direktur Kesehatan Lingkungan Ditjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Imran Agus Nurali di Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Kamis (15/8/2019) sore mengatakan bahwa sepuluh pengelola limbah medis yang ada baru mampu mengelola limbah sekitar 170-an ton per hari. Sementara di tingkat RS, hingga kini baru ada 87 RS yang memiliki alat incinerator. Alat ini digunakan untuk mengolah limbah medis dengan kapasitas 60-an ton per hari. Karenanya banyak RS, puskemas, klinik dan apotik yang tergantung pada pihak ketiga dalam pengelolaan sampah medis”
Analisis kasus & saran penulis
Penularan penyakit dapat terjadi melalui pencemaran dari limbah medis hasil dari buangan aktivitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dalam penanganan limbah medis harus dilakukan pemantauan dan pembenahan secara terus menerus. Sehingga risiko yang dihasilkan dari limbah medis tidak merugikan lingkungan sekitar. Manajemen RS, dinas kesehatan dan badan lingkungan hidup daerah harus saling bekerjasama untuk mengatasi masalah yang timbul dari limbah medis.
Berdasarkan gambaran diatas, berikut ini adalah beberapa tanggapan penulis terkait atas hal tersebut, yaitu;
- Jenis limbah medis
Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, limbah medis dapat meliputi limbah padat domestik, limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), limbah cair, dan limbah gas. Mengantisipasi hal tersebut, RS harus memiliki tempat penampungan limbah sementara yang aman, tertutup dan legal. Selain itu juga harus membatasi akses lokasi penampungan limbah, serta memastikan bahwa limbah medis tidak tercampur dengan limbah non medis.
Dalam PERMENKES diatas juga dijelaskan bagaimana cara meningkatkan kualitas lingkungan dan mengendalikan risiko kesehatan melalui pengolahan limbah medis yang benar. Kualitas lingkungan RS yang sehat ditentukan melalui pencapaian atau pemenuhan standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan pada media air, udara, tanah, pangan, sarana dan bangunan, dan vektor dan binatang pembawa penyakit. Secara umum, penyelenggaraan pengamanan limbah dilakukan dengan tahap identifikasi, pemilahan, pewadahan, pengangkutan, penyimpanan di TPS, penanganan vektor dan binatang pembawa penyakit limbah dari limbah, kemudian pengolahan limbah. Penanganan limbah ini dapat dilakukan secara internal maupun eksternal dengan kerjasama pihak ketiga yang memiliki ijin.
- Pertanggungjawaban pengolahan limbah
Pengolahan limbah medis harus dilakukan dengan baik dan benar, serta sesuai standar aturan kesehatan. Untuk menjamin hal tersebut, maka pertanggungjawaban pengolahan limbah setiap RS harus jelas. Dalam hal ini, tempat penampungan sementara limbah RS harus memiliki ijin, informasi jenis dan jumlah limbah juga harus masuk ke dinas kesehatan atau badan lingkungan hidup daerah setempat. Tujuannya adalah, agar tidak terjadi pembuangan limbah secara sembarangan, yang dapat membahayakan lingkungan sekitar. Karena itu, RS wajib melaporkan pengelolaan dan pencatatan limbah fasilitas pelayanan kesehatannya.
- Pembentukan badan pengolahan limbah di setiap daerah
Fasilitas kesehatan seperti RS, puskesmas dan klinik, harus memiliki alat pengolahan limbah sendiri (terutama untuk limbah berbahaya/B3). Namun, bisa juga bekerjasama dengan pihak tertentu dalam mengelola limbahnya, karena sarana pengelola limbah tidak murah. Mengantisipasi hal ini, ada baiknya apabila setiap daerah memiliki tempat khusus yang berijin dari departemen kesehatan, untuk mengolah limbah medis dari fasilitas kesehatan yang tidak memiliki alat pengolahan limbah. Hal ini penting karena, selain alat pengolahan limbah yang harus berijin, tentunya biaya pengadaan alat ini cukup besar. Dan fasilitas kesehatan yang berukuran kecil hanya memiliki volume limbah medis yang kecil.
Limbah medis tentunya ada yang membahayakan apabila terpapar di lingkungan. Oleh karena itu, penanganan dan pengelolaannya harus benar dan penuh pertanggungjawaban. Dalam hal ini, fasilitas kesehatan dapat mengumpulkan limbah medisnya sesuai jenisnya, kemudian menumpuknya di tampungan limbah sementara yang aman. Dan pada saat tertentu dapat dikirimkan ke pengolahan limbah medis daerah setempat. Selain itu, pengawasan pemerintah dalam kaitannya dengan penentuan biaya pengolahan limbah medis juga penting. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi permainan harga oleh pihak pengelola.