PENENTUAN NILAI PERSEDIAAN AKHIR & HPP DALAM LAPORAN KEUANGAN RS (PART 1)
Oleh; Tubagus Raymond
1. Pendahuluan
Setiap awal tahun, bagian akuntansi RS disibukkan dengan penyusunan laporan keuangan tahunan untuk tahun sebelumnya. Penggunaan metode akuntansi mutlak diperlukan dalam penyusunan laporan keuangan tersebut.
Untuk mendapat- kan gambaran yang jelas, berikut adalah laporan keuangan RS ber- bentuk PT dalam bentuk laporan laba rugi & rugi neraca. Dalam neraca terlihat HPP (harga pokok penjualan) yang mungkin di RS lainnya menggunakan istilah berbeda seperti ”Beban Pokok Penjualan”. Nilai HPP dalam laporan keuangan tersebut hampir mencapai Rp. 14 Miliyar. Artinya, kesalahan menggunakan metode akuntansi akan berakibat adanya kesalahan dalam menentukan nilai HPP. Coba dibayangkan, jika nilai HPP turun Rp. 200 juta saja maka laba akan naik sebesar Rp. 200 juta.
Sedangkan dalam neraca, terlihat nilai persediaan akhir sekitar Rp. 9 miliyar. Artinya, kesalahan menggunakan metode akuntansi akan berakibat adanya kesalahan dalam menentukan nilai persediaan akhir. Coba dibayangkan, jika nilai persediaan akhir naik Rp. 200 juta saja maka asset RS akan naik dan akan mempengaruhi dalam menghitung ROI.
Tulisan ini akan terfokus pada bagaimana cara SDM akuntansi RS dalam menentukan nilai persediaan akhir di neraca & nilai HPP di laporan laba Rugi. Dalam akhir tulisan ini juga akan diberikan solusi bagaimana seharusnya menghitung nilai HPP & Persediaan Akhir untuk RS yang masih menggunakan perhitungan manual (atau melalui excel).
2. Pengalaman RS dalam menghitung nilai HPP & persediaan akhir
Penentuan nilai HPP dan persediaan akhir dalam laporan keuangan RS sebenarnya tidak akan masalah jika RS telah menggunakan SIM terintegrasi (minimal menggunakan modul billing, farmasi & akuntansi). Tapi harus diingat bahwa ketiga modul tersebut harus terintegrasi dengan baik . (Lihat pada tulisan mengenai SIM TERINTEGRASI ERA BARU PENGEMBANGAN SIM DI RS (PART 1 & PART 2))
Sebagai besar RS di Indonesia belum menggunakan SIM terintegrasi, sehingga proses penentuan nilai HPP & Persediaan akhir dalam laporan keuangan tahunan menjadi hal yang rumit. Hal ini juga harusnya diketahui oleh manajemen RS sebagai pengguna laporan keuangan. Karena salah menentukan nilai HPP & persediaan akhir akan mengakibatkan biasnya informasi yang diterima oleh manajemen. Berikut pengalaman penulis di beberapa RS dalam proses penghitungan nilai HPP & persediaan akhir dalam laporan keuangan tahunan di RS.
Sekitar tahun 2015 kami mengunjugi suatu RS Swasta. Dalam diskusi dengan bagian akuntansi terungkap bahwa penentuan nilai HPP & persediaan akhir tidak dilakukan proses perhitungan layaknya metode akuntansi pada umumnya. Bagian akuntansi hanya menerima “data jadi” berupa nila HPP & persediaan akhir dari bagian Farmasi. Hasil diskusi dengan bagian farmasi terungkap bahwa proses perhitngan yang mereka lakukan tidak berbasis pada metode akuntansi yang benar. Untuk menentukan nilai persediaan akhir, bagian farmasi hanya mengalikan antara output setiap persediaan berdasarkan sock opname kemudian dikalikan dengan harga beli terakhir untuk setiap jenis persediaan tersebut. Sedangkan untuk menentukan HPP, jumlah perjenis persediaan yang terjual langsung dikalikan dengan harga beli terakhir.
Pengakuan nilai HPP & persediaan akhir di neraca dalam kasus diatas tidak berdasarkan cara dan metode akuntansi yang umum digunakan. Hal ini akan berimbas pada tidak validnya data laporan keuangan yang disajikan. Berikut adalah beberapa catatan atas kesalahan perhitungan nilai HPP & persediaan akhir dalam kasus diatas;
- Metode FIFO (First in first out) & LIFO (Last in first out) menurut Farmasi. Bagian farmasi biasanya menggunakan metode FIFO. Penggunaan metode FIFO di bagian Farmasi lebih difokuskan pada tidak terjadinya expire date atas obat dan bahan medis. Karena itu, persediaan yang pertama kali datang yang akan pertama kali di jual.
- Metode FIFO (First in first out) & LIFO (Last in first out) menurut akuntansi. Penggunaan kedua metode diatas dalam akuntansi lebih berorientasi pada harga beli persediaan tersebut. Jadi sangat berbeda dengan orientasi bagian farmasi. Karena itu, ketersediaan data pembelian persediaan sangat penting untuk unit akuntansi terutama dalam menghitung nilai HPP & persediaan akhir.
- Perhitungan nilai HPP & persediaan akhir pada kasus diatas tidak jelas metodenya. Apabila menggunakan metode FIFO dalam menentukan persediaan akhir bagian akuntansi harus mempunyai data pembelian & harga beli untuk setiap persediaan yang ada. Stock opname misalnya, data ”Bisacodyl 5 mg” berjumlah 1350 tablet. Dari jumlah tersebut, harus diyakinkan bahwa obat tersebut hanya memiliki 1 harga beli atau lebih. Jika persediaan tersebut memiliki 2 harga beli maka harus diidentifikasi lebih lanjut untuk kedua harga beli tersebut. Jika hasil identifikasi ternyata 1000 tablet ”Bisacodyl 5 mg” memilki harga beli Rp. 370, dan sisanya dengan harga beli sebelumnya sebesar Rp. 350. Maka untuk menentukan persedian akhir ”Bisacodyl 5 mg”, akan dilakukan 2 kali perhitungan yaitu; 1000 x Rp. 370, ditambah dengan 350 x Rp.350. Berdasarkan pemaparan ini dapat diketahui bahwa model perhitungan HPP & persediaan akhir dalam kasus diatas ”hanya mirip FIFO”, dan tidak menggunakan metode akuntansi pada umumnya. Belum lagi tentang penentuan HPP yang salah. Seandainya menggunakan metode FIFO, jumlah stock barang yang terjual harus dikalikan dengan harga belinya masing-masing, dan tidak dikalikan dengan harga beli terakhir.
Selanjutnya akan dilanjutkan pada PART 2, yang akan membahas mengenai :
3. Pengakuan nilai HPP & persediaan akhir menurut metode akuntansi 2
4. Langkah2 perhitungan nilai HPP & persediaan akhir