IURAN PESERTA NAIK, MUNGKINKAH PELAYANAN BPJS MENINGKAT?

Pendahuluan
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang direncanakan mulai diterapkan awal tahun 2020, banyak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Tuntutan peningkatan kualitas layanan BPJS akibat kenaikkan iuran juga disuarakan beberapa pihak. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Putih Sari (www.merdeka.com, dipublikasi 31 Agustus 2019), mengatakan bahwa penyesuaian iuran BPJS Kesehatan harus diikuti dengan peningkatan kualitas layanan di fasilitas kesehatan (Faskes). Selain itu, pasien BPJS juga tidak boleh dipersulit lagi dalam mendapatkan hak pengobatan atau pelayanan yang memadai di semua jenjang Faskes.
Pertanyaannya kemudian adalah mungkinkah pelayanan BPJS akan meningkat karena kenaikkan iuran pesertanya? Jawabannya; mungkin ya atau sangat mungkin tidak. Hal ini bergantung pada keseriusan pemerintah untuk mengevaluasi BPJS secara menyeluruh (lihat tulisan tentang PERLUNYA MELAKUKAN EVALUASI SISTEM BPJS KESEHATAN SECARA MENYELURUH), mulai dari perubahan beberapa peraturan, evaluasi sistem & kinerja BPJS Kesehatan, dll.
Kenyataan yang sering dialami pasien BPJS
Salahsatu bentuk kinerja yang kurang dari BPJS Kesehatan adalah buruknya sistem dalam pelayanan konsumen. Karena itu, tanpa melakukan peningkatan perbaikan pelayanan dan kontrol terhadap fasilitas kesehatan mitra, peningkatan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan akan sangat mungkin membuat pesertanya berhenti. Terkait hal ini, menurut penulis, 2 hal berikut yang sering terjadi pada pasien BPJS;
- Masalah antrean pasien BPJS Kesehatan di RS
Penumpukan antrean pasien BPJS Kesehatan di RS menjadi masalah serius bagi pasien. Ini terjadi bukan karena masalah sistem dalam RS, tetapi karena prosedur pada pasien BPJS Kesehatan. Pada awal registrasi rawat jalan di RS, pasien harus menyiapkan fotocopy persyaratan bagi pasien BPJS Kesehatan, kemudian menunggu verifikasi jaminan dan pencetakan SEP. Setelah itu pasien dapat memperoleh antrian perawatan rawat jalan di RS. Masalah antrean kemudian muncul apabila pasien harus menjalani perawatan lebih lanjut (rawat inap). Keluarga pasien harus ke unit pendaftaran untuk melakukan registrasi rawat inap dilampiri data pendukung lainnya, untuk dibawa ke BPJS Center di RS tersebut. Pasien dapat masuk ke ruang rawat inap apabila berkas yang masuk ke BPJS Center sudah mendapatkan persetujuan dibawa kembali ke unit pendaftaran untuk proses pemindahan pasien. Begitu juga proses pemulangan pasien yang harus melalui BPJS Center. Artinya, semua kepentingan pemberkasan pasien BPJS Kesehatan harus melalui BPJS Center.
Waktu pemrosesan berkas yang lama di BPJS Center sebenarnya terjadi karena masih adanya sistem manual terkait hal tersebut di BPJS Kesehatan. Artinya, software yang ada saat ini tidak bersifat menyeluruh untuk semua rangkaian proses konsumen. Sehingga manfaat hasil data olahannya terbatas untuk fungsi-fungsi tertentu. Berkas data pasien BPJS Kesehatan yang masuk saat pendaftaran di RS belum terkoneksi langsung ke sistem BPJS. Akibatnya, keluarga pasien harus mengisi dan mengurus berkas berkali-kali di unit yang berbeda (unit pendaftaran dan BPJS Center). Dengan demikian, banyak pasien BPJS Kesehatan yang harus menunggu masuk ruang perawatan karena berkas masih dalam antrean.
Untuk mengingkatkan layanan, BPJS Kesehatan seharusnya dapat meng-upgrade sistemnya menjadi sistem yang terintegrasi dengan RS. Sistem terintegrasi ditujukan untuk menyederhanakan proses pemberkasan data pasien. BPJS Kesehatan dapat menyediakan sofware yang mampu membaca data pasien sejak awal pasien mendaftar di RS. Sehingga apabila pasien harus mendapatkan perawatan tingkat lanjut seperti rawat inap, maka persetujuan berkas dapat dilakukan langsung secara online melalui sortware ini. Dan keluarga pasien tidak perlu antri mengurus berkas di unit yang berbeda dalam antrian yang lama. Perlu diketahui bahwa, selain dapat mengatasi penumpukan antrean pasien, penerapan software terintegrasi juga dapat mengurangi SDM bagian BPJS Center di RS.
- BPJS Kesehatan kurang greget dalam bermitra dengan RS
Kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan RS seharusnya merupakan ”kerjasama setara” dan menguntungkan bagi keduanya. Dengan kerjasama ini, RS akan mengalami peningkatan kunjungan pasien. Apabila dikelola dengan baik, hal ini tentunya dapat meningkatkan penggunaan BOR RS dan meningkatkan omset RS secara keseluruhan. Sedangkan bagi BPJS Kesehatan, melakukan kerjasama dengan RS, maka pesertanya (pasien BPJS) akan mendapatkan pelayanan terbaik sesuai kelas kepesertaannya.
Namun dalam implementasinya, pasien BPJS Kesehatan seringkali mengeluhkan adanya perlakuan diskriminasi dari pihak RS. Hal ini mungkin terjadi karena tarif penggantian biaya layanan pasien dari BPJS Kesehatan seringkali lebih rendah. Pada kasus pasien rawat inap, sangat mungkin pihak RS cenderung mengutamakan penerimaan layanan untuk pasien umum (dengan alasan ruang perawatan penuh). Secara tidak langsung, perlakuan tersebut mendorong pasien BPJS Kesehatan untuk memilih pindah kelas perawatan yang lebih tinggi dan membayar tarif tambahan dari RS. Hal ini tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien BPJS Kesehatan.
Mengantisipasi hal tersebut diatas, sangat penting bagi BPJS Kesehatan untuk melakukan evaluasi secara berkala atas pelayanan RS mitra kepada pasien BPJS. Dalam proses evaluasi kinerja layanan RS, penting untuk melihat laporan proporsi penggunaan BOR untuk pasien BPJS Kesehatan. Laporan ini dapat dijadikan dasar evaluasi pelayanan RS terhadap pasien. Apabila proporsi BOR untuk pasien BPJS Kesehatan kurang dari 50%, maka perlu dipertanyakan alasannya. BPJS Kesehatan harus mempertegas sanksi pemutusan kerjasama RS bagi RS yang melakukan kecurangan atau menyalahi perjanjian kerjasama.
Bagaimana cara meningkatkan kinerja layanan BPJS kedepan?
Harus diakui bahwa salahsatu penyebab defisit BPJS Kesehatan adalah rendahnya iuran peserta. Namun, ada banyak faktor pemicu lainya, seperti masalah sistem dan manajemen BPJS Kesehatan yang masih buruk. Topik terkait penilaian kinerja BPJS Kesehatan dan manajemen-nya merupakan salahsatu hal penting yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan layanan pada peserta BPJS. Dalam hal ini, pemerintah perlu menambahkan peraturan yang memuat indikator standar penilaian kinerja BPJS. Pada implementasinya, penilaian tersebut harus dilakukan secara berkala untuk mengevaluasi jalannya program BPJS. Program yang berhasil adalah program yang selalu dievaluasi dan ditindaklanjuti.
Apabila indikator kinerja BPJS Kesehatan sekaligus manajemen-nya telah ada, maka secara otomatis akan memicu perbaikan pada keseluruhan proses yang ada. BPJS Kesehatan juga perlu meningkatkan kemampuan dalam menganalisis klaim tagihan dari RS. Tanpa upaya perbaikan manajemen BPJS Kesehatan dan kontrol pada fasilitas kesehatan, defisit akan tetap terjadi.