PERLUNYA PEMBENAHAN SISTEM DAN KEBIJAKAN BPJS KESEHATAN
Pendahuluan
BPJS Kesehatan merupakan program jaminan kesehatan yang diusung oleh pemerintah, untuk mendukung pembiayaan bagi kesehatan masyarakat. Secara konsep, program BPJS kesehatan yang mulai beroperasi pada awal tahun 2014 ini sangat baik, karena mengedepankan konsep ”tolong menolong”. Meskipun demikian, dalam implementasi kebijakan dan layanannya kadang sedikit bermasalah. Proses anggota BPJS untuk mendapatkan layanan RS misalnya terkesan ribet. Beberapa kebijakan juga saat diimplementasikan terkesan memberatkan pasien.
Pada tulisan ini, kami mengangkat satu kasus terkait keluhan masyarakat terhadap salahsatu kebijakan dari BPJS Kesehatan yang dinilai memberatkan pasien. Kasus berikut, mengacu pada pemberitaan dalam situs kabartoday.co.id yang dipublikasi pada tanggal 9 Juli 2019:
“Kebijakan BPJS Kesehatan terkait dengan sistem rujukan berjenjang tiap tiga bulan sekali untuk pasien hemodialisa, pasien CAPD, dan transplantasi ginjal dinilai kurang efektif. Keluhan ini ditunjukkan dengan adanya surat somasi yang dilayangkan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) pada BPJS Kesehatan. Surat somasi dikirimkan melalui LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Harapan Bumi Pertiwi pada tanggal 2 Juli 2019. Proses rujukan berjenjang ini dianggap akan memberatkan pasien, karena tidak semua pasien memiliki kondisi kesehatan yang baik untuk mengurus berkas-berkas dalam rujukan”
Analisis kasus & saran penulis untuk BPJS kesehatan
Penyusunan kebijakan BPJS Kesehatan tentunya ditujukan untuk perbaikan pelayanan jaminan kesehatan dan menengahi proses yang ada. Namun, apabila dilihat dari sisi pasien dengan kondisi kesehatan yang kurang baik untuk mengurus berkas rujukan, kebijakan ini dinilai kurang efektif. Pasien hemodialisa, pasien CAPD, dan transplantasi ginjal, seharusnya memang ditangani oleh dokter subspesialis, dan itu tidak ditemui pada pelayanan kesehatan tingkat pertama (fakses pertama). Selain itu, jelas bahwa pasien dengan penyakit tersebut membutuhkan perawatan khusus secara rutin. Sehingga rujukan berjenjang yang mengharuskan pasien melalui faskes pertama dapat memperlama proses perawatan utama pasien.
Berdasarkan gambaran diatas, berikut ini adalah beberapa saran penulis terkait kebijakan rujukan berjenjang tersebut, yaitu;.
- Kejelasan peraturan terkait kebijakan rujukan berjenjang
Peraturan terkait rujukan berjenjang sebenarnya telah diatur dalam Perpres No 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan pada pasal 55 point 7, bahwa rujukan berjenjang adalah wajib, kecuali untuk pasien dengan kondisi tertentu. Namun kondisi tertentu yang seperti apa tidak dijelaskan. Dengan demikian, peraturan tersebut perlu tambahan penjelasan, kondisi pasien seperti apa yang diperbolehkan tidak melakukan rujukan berjenjang. Pengecualian ini dapat ditujukan salahsatunya untuk kasus penyakit yang memerlukan perawatan berulang secara rutin seperti penyakit gagal ginjal. Karena, pasien gagal ginjal membutuhkan perawatan cuci darah atau hemodialisa secara rutin dalam seumur hidup pasien.
- Perbaikan terkait penyederhanaan sistem.
Proses pengurusan pendaftaran dengan BPJS Kesehatan di RS seringkali menggunakan banyak berkas dalam bentuk kertas. Tentunya dengan adanya barcode pada kartu BPJS, pelayanan terkait pendaftaran ataupun pengurusan rujukan seharusnya dapat disederhanakan. Selain untuk mengurangi penggunaan kertas, hal tersebut juga dapat mempercepat pelayanan. Sehingga apabila pasien membutuhkan rujukan berjenjang, tentu akan lebih cepat dan mudah. Pasien cukup menunjukkan kartu BPJS Kesehatan untuk memastikan validitas dan melakukan aktivasi kartu BPJS.
- Investasi pada sistem terintegrasi
Perbaikan dan penyederhanaan sistem berarti mengharuskan adanya investasi pada sistem terintegrasi. Namun sebelum investasi dilakukan, terlebih dahulu harus melakukan perbaikan kebijakan. Selanjutnya mengadakan sosialisasi pada masyarakat, dan koordinasi pada mitra rumahsakit. Sehingga selain kebijakan yang berjalan dengan baik, dibarengi pula dengan kinerja sistem yang baik. Selain dapat mengurangi kebutuhan SDM BPJS, hal ini tentunya dapat berdampak besar bagi pasien secara khusus, serta mitra RS.