PERLUNYA MELAKUKAN EVALUASI SISTEM BPJS KESEHATAN SECARA MENYELURUH (Part 1)

Pendahuluan
Saat ini, informasi terkait defisit BPJS Kesehatan lebih dikaitkan dengan rendahnya iuran kepesertaan. Padahal, dari segi pelayanan, RS dan pasien juga menerima dampak adanya defisit ini. Mulai dari kebijakan BPJS yang dirasa sepihak, sampai pada terganggunya pelayanan pasien. Rendahnya iuran kepesertaan hanyalah satu faktor dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Menurut penulis, berbagai pihak terkait perlu melakukan evaluasi secara komprehensif untuk memperbaik BPJS Kesehatan kedepan. Karena itu, penulis berhadap semoga tulisan ini bisa dibaca oleh bapak presiden Joko Widodo, anggota DPR RI, dan para menteri terkait.
Untuk menggambarkan secara komprehensif permasalahan BPJS, tulisan ini berusaha membedah beberapa aturan terkait BPJS disamping penyajian hasil pengamatan dilapangan. Menurut penulis, beberapa aturan terkait BPJS perlu dievaluasi, diubah, atau bahkan perlu menambahkan beberapa pasal, yaitu;
-
- UU no 24 tahun 2011 pasal 24, terkait kinerja direksi BPJS Kesehatan
- PERMENKES RI no 99 tahun 2015 terkait Akreditasi dan kredensial review
- PERMENKES RI no 99 tahun 2015 terkait Evaluasi mitra kerjasama BPJS Kesehatan
- PERMENKES RI no 71 tahun 2013 Kebijakan kerjasama dengan fasilitas kesehatan,
- Transparansi sistem informasi
- Peraturan Presiden no 82 2018 pasal 34 tentang besaran iuran peserta BPJS,
- Peraturan BPJS Kesehatan no 4 tahun 2014 terkait Kepesertaan BPJS Kesehatan
- UU RI Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pada pasal 23, terkait jumlah direksi BPJS Kesehatan
Kajian terkait evaluasi sistem BPJS secara komprehensif
Beberapa hal berikut merupakan usulan penulis terkait perubahan aturan yang ada dan perlunya penambahan beberapa pasal baru pada aturan tersebut
- Evaluasi kinerja direksi BPJS Kesehatan & pemberian insentif
Tugas dan wewenang direksi BPJS Kesehatan telah dijabarkan dalam UU RI Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pada pasal 24. Pada pasal tersebut, hanya disebutkan tugas dan wewenang direksi BPJS Kesehatan. Tugas direksi meliputi; 1) melaksanakan pengelolaan BPJS yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi; 2) mewakili BPJS di dalam dan di luar pengadilan; dan 3) menjamin tersedianya fasilitas dan akses bagi Dewan Pengawas untuk melaksanakan fungsinya. Namun tidak dijelaskan indikator pasti tentang penilaian kinerja direksi.
Evaluasi kinerja direksi dapat dinilai dari kapabilitas direksi dalam memimpin organisasi BPJS Kesehatan. Terkait hal ini, pemerintah hendaknya menetapkan dan menambahkan parameter target kinerja direksi dalam peraturannya. Sehingga terdapat kejelasan bagaimana kinerja direksi diukur, dan apa indikatornya. Terkait dengan pemberian insentif bagi direksi BPJS, seharusnya dikaitkan dengan kinerja BPJS Kesehatan, dan diberikan berdasarkan prestasi direksi. Karena, apabila insentif direksi diberikan tidak berdasarkan kinerja yang jelas, disamping hanya akan menambah defisit juga akan menimbulkan kesan yang tidak sehat pada institusi negara lainnya.
Menurut penulis, perlu adanya pasal dalam aturan terkait yang mengatur mengenai indikator kinerja BPJS dan direksinya, disertai dengan sistem pemberian insentif beradasrkan kinerja.
- Akreditasi dan kredensial review
Dalam menetapkan pilihan fasilitas kesehatan, BPJS Kesehatan melakukan seleksi dan kredensialing, hal ini dimuat dalam pasal 9 PERMENKES RI Nomor 99 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas PERMENKES Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional. Kredensial dilakukan oleh Dinkes untuk menilai kualitas fasilitas kesehatan sebagai penentu kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Sedangkan persyaratan yang harus dipenuhi untuk kerjasama BPJS Kesehatan bagi RS salahsatunya adalah sertifikat akreditasi. Ini termuat dalam pasal 7b PERMENKES RI Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional. Seperti yang diketahui, akreditasi dilakukan oleh KARS (Komite Akreditasi RS) juga untuk menilai kualitas fasilitas kesehatan.
Meskipun akreditasi dan kredensial memiliki tujuan untuk mengetahui kelayakan fasilitas kesehatan, namun keduanya tampak tidak memiliki standar review yang sama. Hal ini terlihat pada kasus turunnya rekomendasi penurunan kelas RS beberapa waktu lalu (lihat tulisan tentang MENGULAS KONFLIK ATAS MUNCULNYA REKOMENDASI PENURUNAN TIPE RS). Pada kasus tersebut, RS yang direkomendasikan untuk turun kelas adalah RS yang telah diakreditasi. Alasannya, RS tersebut telah mengalami penurunan kualitas layanan. Padahal, RS yang telah lolos akreditasi artinya adalah RS yang benar-benar dinilai telah layak versi KARS. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ”standar penilaian” yang berbeda antara akreditasi yang dilakukan oleh KARS (Komite Akreditas RS) dengan review yang dilakukan DEPKES.
Mengacu pada hal tersebut, maka perlu ditinjau kembali bagaimana pelaksanaan akreditasi dan kredensial fasilitas kesehatan. Ada baiknya apabila review kredensial juga dilakukan oleh pihak independen seperti KARS. Hal ini ditujukan untuk memisahkan unsur kepentingan yang memihak dalam proses review. Karena dalam Pedoman Kredensialing TNP2K terkait Pemilihan Fasilitas Kesehatan untuk Pasien Jaminan disebutkan bahwa salahsatu unsur penilai dalam review kredensial adalah dari badan penyelenggara (BPJS). Atau, perlu dipikirkan juga bagaimana apabila proses review ini dilakukan oleh sekaligus oleh KARS bersamaan dengan proses akreditasi. Sehingga tidak menimbulkan perbedaan akhir dari hasil penilaian fasilitas kesehatan.
- Evaluasi mitra kerjasama BPJS Kesehatan
Pada pasal 39 PERMENKES RI Nomor 99 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas PERMENKES Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional, disebutkan bahwa Fasilitas Kesehatan wajib membuat laporan kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan secara berkala setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan juga wajib menerapkan utilization review secara berkala dan berkesinambungan, serta memberikan umpan balik hasil utilization review kepada fasilitas kesehatan. Namun dalam peraturan ini, tidak disebutkan secara detail bagaimana dan apa saja utilization review yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan.
Salahsatu yang perlu ditambahkan dalam aturan tersebut adalah kebijakan evaluasi layanan fasilitas kesehatan. Evaluasi ini ditujukan untuk mengoptimalkan upaya peningkatan layanan pasien jaminan BPJS Kesehatan. Hal ini terkait dengan mitra kerjasama BPJS Kesehatan, terutama pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut (RS). Evaluasi sangat penting dilakukan untuk meminimalisasi kecenderungan RS dalam melakukan kecurangan yang dapat merugikan pasien jaminan. Kerana itu, pihak BPJS perlu melakukan evaluasi jumlah pasien peserta BPJS yang terlayani di setiap RS mitra. Misalkan dalam 6 bulan, ternyata terdapat 50% pasien BPJS Kesehatan yang naik kelas di satu RS, maka BPJS Kesehatan perlu mengevaluasi apakah itu atas dasar kemauan pasien sendiri, atau karena dorongan dari RS yang melakukan kecurangan (dengan alasan ruang perawatan yang sesuai dengan kelas pasien telah penuh), atau karena ruang perawatan yang sesuai kelas pasien tidak memiliki fasilitas yang seharusnya.