MENGUKUR KUALITAS KERJA DENGAN METRIK KINERJA SDM

Pendahuluan
Semua organisasi bisnis sangat mengharapkan untuk mendapatkan SDM yang tetap fokus pada kualitas kerja. Namun untuk mendapatkanya, tentu saja memerlukan arahan dan koordinasi yang jelas dari manajemen. Sangat diperlukan kecerdasan manajemen dalam memaksimalkan potensi organisasi dengan meningkatkan pengetahuan, agar SDM yang ada mampu melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin. Setiap manajer wajib menjadi orang-orang terdepan yang membantu, untuk meyakinkan dan memotivasi setiap pribadi karyawan, agar dapat menciptakan kualitas kerjanya.
Kualitas kerja - metrik kinerja karyawan
Menurut Vulpen (2016)[1], ada 4 kategori utama metrik kinerja karyawan yaitu; kualitas kerja, kuantitas pekerjaan, efisiensi kerja, & kinerja organisasi. Metrik kualitas kerja menggambarkan mengenai kualitas kinerja karyawan. Berikut ini adalah 8 hal yang terkait dengan metrik kualitas kerja yang dikemukakan oleh Vulpen.
1. Manajemen berdasarkan tujuan
Manajemen berdasarkan tujuan adalah model manajemen yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja organisasi dengan menerjemahkan tujuan organisasi ke dalam tujuan individu tertentu. Sasarannya adalah terkait dengan tujuan yang ditetapkan oleh karyawan dan manajer. Tujuan yang telah ditetapkan dapat diberi bobot tertentu (sejumlah poin).
2. Penilaian subyektif oleh manajer
Sebagian besar perusahaan, menilai kinerja selama beberapa kali dalam dua tahunan. Karyawan dinilai berdasarkan beberapa kriteria, umunya pada kualitas pekerjaan mereka. Adaptasi skema ini disebut 9-box grid. 9-box grid didasarkan pada tabel 3 × 3 di mana karyawan dinilai berdasarkan kinerja dan potensi. Karyawan dengan kinerja tinggi tetapi berpotensi rendah merupakan nilai yang sempurna untuk fungsi mereka saat ini. Karyawan yang mendapat skor tinggi baik dalam kinerja maupun potensi, sering kali ditunjuk untuk kenaikan posisi dalam struktur organisasinya karena mereka dapat menambahkan nilai lebih tinggi. Berikut ini adalah gambaran secara umum tentang 9-box grid.
3. Cacat produk
Sangat sulit untuk mengukur (produksi) kualitas secara objektif. Suatu pendekatan tradisional yang sering dilihat oleh industri manufaktur adalah menghitung jumlah cacat produk. Produk cacat, atau produk yang salah diproduksi, merupakan indikasi kualitas kerja rendah. Adanya peningkatan standardisasi proses produksi membuat metrik ini tidak perlu digunakan. Karena itu, pendekatan untuk mengukur kinerja karyawan dapat diterapkan ke area lain.
4. Jumlah kesalahan
Jumlah kesalahan input dapat menjadi faktor terjadinya cacat produk yang disebutkan sebelumnya. Hal yang sama berlaku untuk jumlah koreksi dalam pekerjaan tertulis atau jumlah bug dalam kode perangkat lunak. Khususnya dalam pemrograman komputer, satu kesalahan dapat menghentikan kerja seluruh program. Ini dapat berdampak besar dalam bisnis, terutama bagi perusahaan yang merilis versi perangkat lunak baru mingguan atau bulanan.
5. Net promoter score
Net promoter score (NPS) dapat bertindak sebagai indikator kinerja karyawan. NPS adalah angka (biasanya antara 1 dan 10) yang mewakili kesediaan klien untuk merekomendasikan layanan perusahaan kepada klien potensial lainnya. Klien yang mendapat skor 9 atau 10 cenderung sangat puas dan akan bertindak sebagai promotor untuk perusahaan. Skor ini digunakan secara rutin untuk menilai karyawan penjualan (misalnya dalam penjualan mobil), yang harus ditandatangani pelanggan. Keuntungan NPS adalah kesederhanaannya. Kerugiannya adalah bahwa tidak jarang karyawan menginstruksikan pelanggan untuk memberikan peringkat tertentu (yaitu 9 atau 10).
6. Umpan balik 360 derajat
Umpan balik 360 derajat adalah cara lain untuk mengukur kinerja karyawan. Untuk menilai skor karyawan, rekan-rekannya, bawahan, pelanggan, dan manajer diminta untuk memberikan umpan balik mengenai topik tertentu. Umpan balik ini sering mewakili pandangan yang akurat dan multi-perspektif tentang kinerja, tingkat keterampilan, dan titik peningkatan karyawan.
7. Umpan balik 180 derajat
Umpan balik 180 derajat adalah versi sederhana dari umpan balik 360 derajat. Dalam sistem ini, hanya kolega langsung dan manajer karyawan yang memberikan umpan balik. Sistem ini sering digunakan oleh pekerja yang tidak mengelola orang dan/atau tidak memiliki kontak pelanggan langsung.
8. Forced ranking
Peringkat yang dipaksakan (juga disebut kurva vitalitas) adalah cara menilai karyawan dengan meminta manajer untuk membuat daftar urutan yang terbaik kepada karyawannya. Dengan cara ini, semua karyawan perusahaan dibandingkan satu sama lain dan dievaluasi kinerjanya. Setiap peringkat ditujukan untuk meningkatkan tenaga kerja. 10% bagian bawah peringkat dapat dipecat dan diganti oleh pelamar teratas, ini adalah sebuah praktik yang diklaim mengarah pada peningkatan signifikan dalam potensi tenaga kerja. Namun, ada banyak kritik mengenai pendekatan “rank and yank” ini dan kebanyakan perusahaan kemudian menghentikan praktik, termasuk General Electric, yang kemudian CEO-nya Jack Welch mempopulerkan praktik tersebut.
[1] Erik van Vulpen, 2016, 21 Employee Performance Metrics