BUDAYA BIAYA & LANGKAH STRATEGIS AGAR DAPAT DIIMPLEMENTASIKAN DI RS
Pendahuluan
Kita semua juga sepakat bahwa yang namanya harga jual itu enggak ada yang bisa kontrol. Siapa yang bisa kontrol nanti naik atau turun? Tergantung supply & demand, feeling saja. Misalnya kemarin terjadi badai cyclone di Australia, mestinya harga batu bara naik karena suplai terganggu. Tapi kembali, harga jual enggak ada yang bisa prediksi. Yang bisa kita prediksi adalah cost. Maka-nya kita mesti bisa kontrol cost. Cost,cost,cost. Harus efisien, harus efisien, harus efisien. Sehingga kalau kita menjadi one of the lowest cost producer, kalau harga lagi turun kita bisa survive. Kalau misalnya kita enggak efisien, sama seperti gempa bumi, yang rapuh-rapuh begitu kena gempa sedikit langsung rubuh. Kita mesti menjadi one of the lowest producer mining company. Namanya komoditi selalu up and down. (Garibaldi Thohir,Presiden Direktur & CEO Adaro Energy- detik. Com, April 2017)
Pengalaman perusahaan dalam mengaplikasikan efesiensi biaya seperti pernyataan diatas, dapat menjadi contoh dan memicu manajemen RS dalam melakukan hal yang sama walaupun karakteristik RS berbeda. Karena saat ini, efesiensi biaya harus menjadi poin penting manajemen RS. Peningkatan biaya pelayanan karena tekanan kualitas di satu sisi, dan persaingan tarif RS dan kebijakan pemerintah di sisi lainnya, mendorong manajemen RS untuk berkonsentrasi pada pengendalian biaya. Bagi RS yang melayani pasien BPJS, pengendalian biaya harus dilakukan agar pelayanan pasien BPJS kelas I, II, dan III bahkan VIP, tetap menguntungkan RS.
Salah satu aspek penting dalam efesiensi biaya dan usaha pengendalian biaya adalah menginternalisasikan budaya biaya pada seluruh elemen yang ada di RS.
Langkah strategis memulai budaya biaya di RS
Penerapan budaya biaya di RS harus melibatkan semua unsur mulai manajemen, para dokter, perawat, hingga SDM non medis. Pemahaman bahwa menggunakan sesuatu yang berlebihan dalam proses pelayanan pasien di RS adalah “pemborosan”, sangat penting untuk ditekankan pada setiap karyawan RS. SDM keuangan misalnya, harus sadar bahwa penggunaan kertas yang berlebihan akan memicu biaya. Setiap sumberdaya di RS harus dimanfaatkan secara efektif.
Agar tercipta “budaya biaya” di RS, setidaknya ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan seperti berikut ini.
- Peran manajemen puncak. Dalam organisasi apapun semua hal harus dimulai dengan pemimpinnya. Begitu juga dengan penerapan “budaya biaya” di RS. Budaya ini harus dimulai dan dicontohkan direksi. Dengan demikian akan lebih mudah bagi manajemen untuk mengarahkan dan mengkomunikasikan program “budaya biaya” di RS yang akan mereka terapkan untuk semua karyawan.
- Mempekerjakan karyawan dengan kualifikasi terbaik. Setap memperkerjakan karyawan di semua organisasi selalu melalui tahapan tes. Salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan karyawan terbaik. Dengan kualitas karyawan yang mumpuni diharapkan akan mengurangi tingkat kesalahan yang bisa memicu pemborosan.
- Pemberdayaan karyawan. Pemberdayaan karyawan bisa dimulai di level unit/bagian dalam memulai program “budaya biaya”. Setiap unit/bagian akan di pimpin oleh manajer unitnya dalam menginternasilkan budaya tersebut.
- Meningkatkan level pendidikan. Pendidikan formal dan informal (mis; pelatihan) pada prinsipnya untuk meningkatkan kemampuan karyawan dalam membantu RS menghasilkan pelayanan yang lebih baik dengan tingkat kesalahan minimal.
- Menghubungkan kompensasi pada reduksi biaya secara berkesinambungan. Kompensasi perlu dipikirkan untuk diberikan kepada karyawan/unit yang biasa menginternasasikan budaya biaya. Tujuan akhir budaya biaya adalah terciptanya reduksi biaya secara berkelanjutan, Karena itu, untuk unit/bagian yang bisa mencapai hal tersebut perlu dipikirkan untuk diberikan kompensasi.