INDEKS IDE SAMUDRA BIRU DALAM BOS
Pendahuluan
Kriteria-kriteria yang dibangun perusahaan dalam strategi blue ocaen (seperti utilitas, harga, biaya, dan pengadopsian), merupakan satu kesatuan yang menjamin sukses komersil. Penting bagi organisasi untuk melihat apakah hal tersebut berjalan dengan baik. Karena itu, diperlukan tes sederhana dan handal melalui blue ocean idea (BOI index). Tulisan ini akan menjelaskan tentang BOI Indeks tersebut. Pembahasan dalam tulisan ini, tetap mengacu pada buku Renée Mauborgne & W. Chan Kim (2005) berjudul, "Blue Ocean Strategy (BOS)”.
Indeks Ide Samudra Biru dalam BOS

Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel diatas, jika saja CDi Philips dan Iridium Motorola memberikan nilai untuk ide mereka berdasarkan indeks BOI. Mereka akan melihat betapa jauhnya mereka dari kemungkinan membuka samudra biru yang menguntungkan. Berkaitan dengan CD-i Philips, alat ini tidak menciptakan utilitas pembeli yang istimewa dengan fungsi teknologisnya yang kompleks dan judul peranti lunak yang terbatas. Harganya jauh di luar jangkauan pembeli kebanyakan dan proses manufakturnya rumit serta mahal. Dengan desainnya yang rumit, dibutuhkan lebih dari 30 menit untuk menjelaskan dan menjual kepada konsumen, suatu disinsentif bagi tenaga penjual untuk menjual CD-i dalam lingkungan ritel yang bergerak cepat. Oleh karena itu, Philips CD-i gagal memenuhi empat kriteria dalam indeks BOI, meskipun Philips sudah mengucurkan dana miliaran dolar untuk alat itu.
Dengan menilai ide bisnis CD-i berdasarkan indeks BOI ketika alat itu dalam pengembangan, Philips sebenarnya bisa melihat kelemahan-kelemahan ide tersebut & mengatasi kelemahan-kelemahan itu sebelumnya. Philipsdapat menyederhanakan produk & menggandeng mitra untuk mengembangkan peranti lunak yang menarik, mematok harga strategis yang bisa dijangkau orang kebanyakan, melembagakan pembiayaan minus-harga (price-minus) daripada plus-biaya (cost plus), dan bekerja sama dengan ritel untuk mencari cara sederhana yang mudah supaya tenaga wiraniaga bisa menjual & menjelaskan produk itu dalam waktu beberapa menit.
Begitu juga dengan Iridium dari Motorola, dimana harga produknya sangat mahal karena tingginya biaya produksi. Iridium tidak memberikan utilitas menarik bagi pembeli kebanyakan karena tidak bisa digunakan di gedung atau mobil dan ukurannya pun besar seperti batu bata. Berkenaan dengan pengadopsian, Motorola mengatasi banyak regulasi & mendapatkan hak transmisi dari sejumlah negara. Karyawan, mitra, dan masyarakat juga termotivasi untuk menerima ide itu. Sayangnya, perusahaan memiliki tim wiraniaga & saluran pemasaran yang lemah dalam pasar global. Karena Motorola tidak mampu memenuhi permintaan penjualan secara efektif, telepon Iridium sering kali tidak tersedia ketika ada permintaan. Utilitas, harga, & posisi harga yang lemah, ditambah kemampuan pengadopsian yang rata-rata saja, menunjukkan ide Iridium akan gagal.
Peluncuran i-mode NTT DoCoMo di Jepang, berbeda dengan Philips & Iridium. Pada 1999, ketika kebanyakan operator telekomunikasi berfokus pada perlombaan teknologi & kompetisi harga dalam peralatan nirkabel berbasiskan-suara, NTT DoComo, operator telekomunikasi terbesar di Jepang, meluncurkan i-mode yang menawarkan internet di telepon seluler. Telefoni mobil regular di Jepang sudah demikian canggihnya dalam hal mobilitas, kualitas suara, kemudahan penggunaan, dan desain peranti keras. Namun, telefoni mobil reguler itu menawarkan sedikit layanan berbasis-data seperti surel (e-mail), akses kepada informasi, berita, permainan, dan kemampuan transaksi, yang merupakan aplikasi luar biasa dalam dunia PC-Internet. Layanan i-mode menyatukan keunggulan-keunggulan kunci dari dua industri alternatif ini, yaitu industri telepon seluler dan industri PC-Internet, & menciptakan utilitas yang unggul dan unik bagi pembeli.