MENGGUNAKAN TELEHEALTH SEBAGAI SOLUSI MENGATASI KEKURANGAN DOKTER

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang sangat luas. Karena itu, keterjangkauan layanan kesehatan hingga saat ini masih belum merata, terutama masyarakat yang tinggal di daerah. Bahkan di AS (dalam Garrity 2019)[1], diperkirakan ada sekitar 20 persen pasien tinggal di daerah dengan jumlah dokter perawatan primer terbatas. Masih dalam tulisan tersebut, Association of American Medical Colleges memproyeksikan akan ada kekurangan 45.000 dokter perawatan primer pada tahun 2020.
Perkembangan kebutuhan msyarakat akan perawatan primer (FASKES tingkat pertama) mendorong organisasi pelayanan kesehatan untuk melakukan berbagai terobosoan. Salahsatu solusi untuk mengantisipasi kekurangan dokter untuk melayani pasien adalah dengan mengembangkan telehealth. Pengembangan telehealth, dibahas dalam seminar (dalam Garrity (2019), dengan pembiara Jordana Bernard (director of policy and public affairs di InTouch Health), Atul Kichambare (global solutions leader di NTT Data), dan Christian Dye (senior management consultant di Data NTT). Mereka membahas permintaan telemedicine yang meningkat dan bagaimana penyedia dapat memperoleh penggantian layanan virtual. Hasil diskusi tersebut kemudian oleh Garrity (2019) dirangkum dalam 2 hal yaitu; 1) Growing demand for telemedicine, & 2) Telehealth of yesterday, today and tomorrow.
Growing demand for telemedicine
Sebuah survei, yang dikutip oleh Data NTT, menemukan bahwa 70 persen konsumen lebih suka melakukan kunjungan melalui video online untuk mendapatkan resep daripada melakukan perjalanan menemui dokter. Demikian pula, 64 persen mengatakan bahwa mereka bersedia untuk melakukan kunjungan video dengan dokter. Hal ini menunjukkan bahwa pasien di AS sangat mendukung adanya telehealth.
Satu hal penting yang mendorong RS dan sistem kesehatan untuk berinvestasi dalam telehealth adalah kesenjangan yang jelas dalam perawatan dan permintaan pasien. Survei yang dilaporkan oleh NTT Data menemukan bahwa 30 persen orang tua dengan anak-anak di bawah usia 18 tahun lebih suka kunjungan video dengan seorang dokter di tengah malam daripada pilihan tradisional, termasuk kunjungan ke ruang gawat darurat.
Namun, meskipun ada peningkatan 68% dalam jumlah pemberi kerja yang menawarkan pengobatan jarak jauh, organisasi layanan kesehatan masih menghadapi hambatan dalam mengaplikasikan hal tersebut.
Mr. Kichambare mengatakan bahwa masalah nomor satu saat mengadopsi solusi telehealth adalah hambatan regulasi dan penggantian. Ada banyak kebingungan dan upaya untuk mengimbangi peraturan yang ada di AS yang selalu berubah. Untuk memastikan kesuksesan finansial, sesuaikan tingkat penggantian dengan layanan yang diberikan.
Telehealth of yesterday, today and tomorrow
Dye mengatakan bahwa saat ini telehealth akan memainkan peran yang lebih besar dalam model berbasis nilai. Dye berharap melihat telehealth menjadi lebih baik, lebih efisien, dan menjadikan biaya perawatannya lebih rendah. Dengan mengadopsi solusi telehealth, penyedia dapat menawarkan pasien pada peningkatan akses ke perawatan berkualitas tinggi. Untuk memastikan keberhasilan menuju perawatan berbasis nilai, RS dan sistem kesehatan perlu mengadopsi alat perawatan virtual sebagai solusi proaktif untuk tantangan kesehatan yang sedang berlangsung.
Bagaimana telehealth di Indonesia?
[1] Mackenzie Garrity, 2019, Telehealth: A proactive, value-based solution to the US physician shortage