MENANGGAPI PERMASALAHAN RSUD WIROSABAN TERKAIT KLAIM PIUTANG BPJS KESEHATAN
Pendahuluan
Biaya pengantian atas layanan kesehatan yang diberikan pada pasien jaminan BPJS Kesehatan merupakan salahsatu sumber pendapatan bagi RS. Pada tulisan ini, kami mengangkat satu kasus terkait pengakuan & klaim piutang kepada BPJS Kesehatan, oleh RSUD Wirosaban Kota Yogyakarta DIY. Kasus berikut, mengacu pada pemberitaan dalam situs news.detik.com yang dipublikasi pada tanggal 1 Agustus 2019:
“Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, Antonius Fokki Ardiyanto, menyebut kondisi keuangan RS Jogja (RSUD Wirosaban) memprihatinkan. Bahkan dia menyebut nyaris bangkrut karena ada tunggakan BPJS Kesehatan sebesar Rp 16 miliar yang belum bisa dibayarkan karena terkendala persoalan administrasi. Klaim tersebut belum dibayar salah satunya karena masih menunggu proses reakreditasi RS. Fokki menuturkan, molornya proses reakreditasi karena Wali Kota Haryadi Suyuti telat menunjuk Direktur RS Jogja yang baru. Karenanya pihak BPJS Kesehatan tak berani memproses klaim yang diajukan RS Jogja”
Analisis kasus & saran penulis
Reakreditasi merupakan bagian penting dalam kerjasama RS dengan BPJS Kesehatan. Pada kasus ini, proses reakreditasi RSUD Wirosaban tertunda karena kekosongan direktur RS. Kekosongan posisi direktur ini terjadi karena pemerintah daerah terlambat menunjuk direktur RS yang baru. Akibatnya, proses klaim BPJS Kesehatan juga tertunda karena kendala administrasi ini.
Berdasarkan gambaran diatas, berikut ini adalah beberapa tanggapan penulis terkait atas hal tersebut, yaitu;
- Penundaan proses reakreditasi & pengakuan piutang
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional pasal 7, salahsatu syarat fasilitas kesehatan dapat bekerjasama dengan BPJS Kesehatan adalah memiliki sertifikat akreditasi. Pada kasus ini, RSUD Wirosaban dinyatakan terlambat melakukan reakreditasi. Artinya, masa berlaku sertifikat akreditasi RS pada periode sebelumnya telah habis. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan posisi RS, apakah masih bertahan pada kelas atau tipe RS sebelumnya atau tidak. Kelas atau tipe RS akan mempengaruhi besarnya tarif klaim yang harus dibayar oleh BPJS Kesehatan. Sehingga pada saat RS belum melakukan reakreditasi, BPJS Kesehatan belum dapat mencairkan tagihannya.
Menurut penulis, permasalahan ini bukan hanya terkait dengan penundaan klaim, tetapi juga terkait dengan jumlah klaim (piutang). Pertanyaannya adalah; apakah jumlah nominal klaim (piutang) RSUD Wirosaban ke BPJS benar sebesar 16 M?. Hal ini penting, karena dengan belum dilakukannya reakreditasi RS maka sangat mungkin bagi BPJS Kesehatan untuk menurunkan tarif (paket) berbasis INA CBG’s. Apabila mengacu pada beberapa kasus terdahulu (lihat tulisan tentang KRITIK ATAS REVIEW KREDENSIAL), RS yang telah lulus akreditasi saja bisa diusulkan untuk turun kelas karena adanya review kredensial.
- Direksi terdiri dari direktur & wakil direktur
Mengacu pada situs https://rumahsakitjogja.jogjakota.go.id, jajaran direksi organisasi RS Wirosaban terdiri dari direktur, wakil direktur pelayanan dan wakil direktur umum dan keuangan. Artinya, apabila direktur tidak ada (berhalangan/diganti), maka bisa digantikan perannya oleh wakil direkturnya dan jajaran lain di bawahnya. Sehingga proses manajemen di RS tetap berjalan dengan baik.
Pada kasus ini, mengapa proses reakreditasi dapat terhambat dengan alasan belum adanya direktur RS yang baru? Padahal peran ini dapat digantikan oleh wakil direktur yang sedang menjabat. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah Kota Yogjakarta untuk memilih direksi (direktur dan wakil direktur) yang memiliki kemampuan manajerial baik. Sehingga pada waktu tertentu dapat membantu mengelola manajemen RS. Apabila peran direktur yang dapat digantikan oleh wakilnya terkait dengan peraturan, maka peraturan yang ada harus diperbaiki.
- Perlunya peraturan (PERDA) terkait tanggung jawab direksi RS
Pemerintah daerah merupakan pihak yang berwenang dalam penunjukan direksi RS daerah. Proses pemilihan direksi tentunya bukan hal yang mudah. Pemerintah harus memastikan kemampuan dan kualifikasi kandidat sesuai dengan peran dan standar yang diterapkan. Satu hal yang juga perlu dipertimbangkan adalah direksi RS terdiri dari direktur dan wakil direktur. Hal ini penting, karena dalam kondisi tertentu, apabila terjadi kekosongan jabatan direktur RS secara mendadak (pemegang jabatan berhalangan/diberhentikan), maka selama belum terpilihnya direktur baru, wakil direktur akan menggantikan perannya.
Apabila saat ini, aturan terkait direksi belum ada, maka pemerintah daerah harus menambahkan aturan terkait kondisi tertentu (selama proses penunjukan direktur yang baru). Misalnya, kewenangan dari direktur RS dapat dilimpahkan pada direksi di bawahnya (wakil direktur). Hal ini dilakukan agar proses manajemen RS tetap berjalan, dan administrasi maupun pelayanan RS tidak terganggu.