Browse By

KEBERHASILAN SELANDIA BARU DALAM MENANGANI PANDEMI COVID-19

Pendahuluan

Keberhasilan pemerintah Selandia Baru dalam menangani pandemi COVID-19, mendapatkan perhatian dunia. Pada februari 2021, negara dengan populasi 2,8 juta jiwa tersebut, dilaporkan hanya memiliki 2.300 kasus COVID-19, dengan 25 kematian[1]. Direktur Regional WHO untuk Pasifik Barat, Dr Takeshi Kasai, menjelaskan bahwa Selandia Baru menggabungkan jarak fisik yang ketat dengan pengujian yang kuat, pelacakan kontak, manajemen klinis dari mereka yang terinfeksi, dan komunikasi publik yang jelas dan teratur. Negara juga mengambil langkah untuk meredam pukulan ekonomi. Dr. Kasai juga menyebutkan bahwa Selandia Baru juga diuntungkan, karena menjadi negara pulau berpenghasilan tinggi dengan sistem kesehatan yang maju.

Pemerintah Selandia baru mulai bergerak beberapa hari setelah WHO menyatakan wabah virus corona sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional pada 30 Januari 2020. Selandia Baru mulai memperkenalkan langkah-langkah pencegahan penyakit dan terus memperkuatnya dalam minggu-minggu berikutnya.

Elemen kunci strategi penanganan COVID-19 di Selandia Baru

Sebenarnya, upaya pemerinta Selandia Baru untuk menahan virus mengikuti pola klasik yang ditetapkan oleh ilmu penularan virus, yaitu: menghentikan masuknya virus dari turis yang datang, pengadaan alat pelindung diri (APD) untuk melindungi pekerja penting, melakukan (pengujian, pelacakan kontak, dan mengisolasi mereka yang dites positif), serta memobilisasi publik untuk mengunci dan menjauhkan diri secara sosial untuk memperlambat atau memutus rantai penularan.

  1. Travel restrictions. Beberapa hari setelah WHO menyatakan virus itu sebagai "darurat kesehatan masyarakat", Selandia Baru menanggapi dengan melarang masuknya penumpang maskapai yang berasal atau bepergian melalui China. Namun, penerbangan transit ke tempat lain diizinkan. Kebijakan ini memungkinkan penduduk Selandia Baru dan pendatang dari negara lain dapat masuk asalkan mereka setuju untuk mengisolasi diri selama 14 hari. Pada tanggal 9 April, MENKES Selandia Baru mengeluarkan perintah yang mewajibkan semua maskapai penerbangan atau penumpang laut yang memasuki Selandia Baru dari luar negeri untuk menjalani pengujian medis dan karantina di fasilitas karantina yang diawasi. Langkah ini diyakini dapat menekan masuknya virus COVID-19 ke Selandia Baru, walaupun saa itu telah terkonfirmasi lebih dari 1.200 kasus.
  2. Personal Protective Equipment. Pemerintah Selandia Baru segera membuat daftar nasional langsung untuk APD, dengan mengidentifikasi produsen Kiwi yang dapat membantu memproduksi semua jenis peralatan. Bisnis lokal menanggapi dengan meningkatkan produksi dalam negeri atau bekerja dengan afiliasi di China untuk mendapatkan pembelian tambahan masker, gaun steril, pembersih tangan, dan pelindung wajah dalam jumlah besar.
  3. TestingPemerintah Selandia Baru dengan cepat mengatur konsorsium publik-swasta untuk membeli alat uji dan reagen dari pemasok lain dalam perebutan pasokan global yang langka. Pada pertengahan Mei 2020, Selandia Baru telah melakukan lebih dari 100.000 tes virus korona,& menghasilkan sekitar 2.200 tes per 100.000 orang. Tingkat pengujian ini jauh lebih tinggi daripada yang dicapai Korea Selatan atau AS selama periode yang sama.
  4. Contact tracing Setelah seorang pasien dinyatakan positif, protokol pandemi COVID-19 standar dilakukan untuk mengidentifikasi dan menguji semua orang yang pernah melakukan kontak dekat dengan pasien tersebut selama 14 hari terakhir. Selandia Baru mencapai ini melalui metode berteknologi rendah dan berteknologi tinggi. Alat pelacakan utama adalah metode berteknologi rendah dari Kementerian Kesehatan, di mana petugas mewawancarai setiap pasien yang dites positif terkena virus untuk menentukan dengan siapa mereka berinteraksi dalam 14 hari terakhir. Pemerintah Selandia Baru kemudian membuat aplikasi ponsel pelacak COVID-19, untuk membantu individu dalam melacak kembali langkah mereka selama 14 hari sebelumnya.
  5. LockdownTantangan paling sulit bagi setiap pemerintahan adalah memobilisasi penduduk untuk menanggapi ancaman secara serius dan mengubah perilaku normalnya secara drastis dan segera. Hal itu penting dilakukan untuk memutus rantai penularan virus. Pemerintah Selandia Baru telah membuat sejarah, dengan menghindari strategi mitigasi tambahan dan segera mengadopsi pembatasan yang sangat kuat dalam upaya untuk menghilangkan (tidak hanya mengurangi) penularan virus oleh komunitas. Pada 25 Maret 2020, Selandia Baru menerapkan Kebijakan ini dilakukan hanya tiga hari setelah pejabat mengonfirmasi penularan komunitas di Selandia Baru, dengan 102 kasus yang tercatat. Lockdown Selandia Baru sangat ketat, & salah satu yang paling ketat di dunia. Semua sekolah, tempat umum, dan bisnis yang tidak penting, termasuk restoran dan layanan jasa untuk ditutup.
Baca Juga:  ENAM TANTANGAN INDUSTRI PELAYANAN KESEHATAN TAHUN 2021 MENURUT LAPORAN PwC

Setelah melihat penurunan pasien COVID-19 secara signifikan, pada tanggal 27 April 2020 pemerintah Selandia Baru mulai melonggarkan lockdown. Meskipun dengan pembatasan jarak yang ditentukan. Pejabat pemerintah, selanjutnya mengurangi pembatasan pada 13 Mei 2020, ketika jumlah kasus baru mencapai nol, dan mencabut seluruhnya pada 8 Juni 2020 dengan pemulihan pasien COVID-19 terakhir yang diketahui di Selandia Baru. Secara keseluruhan, penguncian nasional Selandia Baru berlangsung selama 26 hari untuk fase parah dan 51 hari untuk gabungan fase parah dan sedang.

  Sumber;
1.    Anna Jones, Juli 2020, How did New Zealand become Covid-19 free?, BBC Newshttps://www.bbc.com,
2.     A.P. Wellington, Februari 2021, New Zealand reports three new Covid-19 cases in setback to success, www.deccanherald.com,
3. Richard W. Parker, 2020, Lessons From New Zealand’s COVID-19 Success, theregreview.org,
4. WHO, July 2020, New Zealand takes early and hard action to tackle COVID-19, who.int
[1] Menurut laporan A.P. Wellington, tanggal 14 Februari 2021.