DIREKSI BPJS KESEHATAN; EKSEKUTIF ATAU PENGAMAT?

Pendahuluan
Masalah defisit BPJS Kesehatan merupakan masalah yang kompleks dan perlu penanganan serius. Beberapa waktu lalu, disampaikan dalam news.detik.com (9/9/2019), Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Dr dr Fachmi Idris mengungkap beberapa hal yang disebut sebagai penyebab defisit BPJS. Antara lain; premi yang belum sesuai hitungan aktuaria, tunggakan iuran peserta mandiri, dan merujuk temuan BPKP, ada data peserta bermasalah, perusahaan yang memanipulasi gaji karyawan, potensi penyalahgunaan regulasi dengan memberikan pelayan RS lebih tinggi dari seharusnya, dan lainnya.
Mengacu pada pernyataan direktur BPJS tersebut, penulis menjadi bingung. Kenapa? Karena menurut penulis direktur BPJS Kesehatan adalah EKSEKUTIF atau pengeksekusi program BPJS Kesehatan. Sedangkan, beberapa hal yang beliau utarakan seolah-olah beliau adalah PENGAMAT. Ulasan berikut adalah kritikan/masukan penulis tentang 5 hal yang disebutkan direktur BPJS Kesehatan sebagai penyebab defisit BPJS Kesehatan.
Premi belum sesuai hitungan aktuaria
Satu hal prinsip dari premi adalah bagaimana dapat menutup semua biaya BPJS Kesehatan. Sebagai orang BPJS (bekerja di BPJS), sudah selayaknya direkturnya menginginkan apabila premi BPJS naik. Saat ini, aturan terkait besaran iuran bagi peserta mandiri BPJS Kesehatan termuat dalam Pasal 34 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, yaitu Kelas III Rp 25.500; Kelas II Rp 51.000; Kelas I Rp 80.000.
Iuran untuk peserta BPJS Kesehatan saat ini memang tergolong masih rendah. Namun, apabila dasar jumlah iuran adalah hitungan aktuaria seperti dikatakan direktur BPJS, pertanyaan kemudian adalah berapa besar nilai iuran menurut perhitungan aktuaria? Sebagai informasi, banyak hal yang perlu dipertimbangkan apabila dasarnya adalah perhitungan aktuaria. Salahsatunya adalah tingkat angka kesakitan nasional, atau bahkan angka kesekitan tiap daerah yang berbeda. Jadi, hal ini masih perlu diperdebatkan. Menurut penulis, untuk menentukan iuran peserta BPJS Kesehatan, bukan hanya terkait dasar perhitungannya, tetapi juga masalah internal BPJS. Perlu diketahui bahwa rendahnya iuran peserta bukan satu-satunya penyebab defisit BPJS. Kemampuan BPJS Kesehatan dalam mereview klaim, jumlah direksi yang terlalu banyak, dan berbagai hal terkait internal manajemen BPJS Kesehatan juga perlu dianalisis.
Menurut penulis, berapapun iuran dinaikkan, tidak akan ada pengaruhnya dalam mengurangi defisit, apabila dilakukan tanpa dibarengi dengan perbaikan manajemen BPJS Kesehatan secara internal. Karena itu, yang paling bijak adalah menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan secara bertahap, sambil pemerintah terus mengevaluasi kinerja BPJS Kesehatan secara keseluruhan. Terutama terkait manajemen, kinerja direksi, dan pengendalian biaya (pemberian insentif direksi, pengelolaan klaim, penagihan iuran dll). Hal ini akan mempercepat masalah defisit teratasi. Bila perlu, lakukan perubahan atas peraturan yang kurang memaksimalkan kinerja BPJS Kesehatan (lihat pada artikel PERLUNYA MELAKUKAN EVALUASI SISTEM BPJS KESEHATAN SECARA MENYELURUH).
Tunggakan iuran peserta mandiri
BPJS Kesehatan memang memiliki konsep dasar program yang sangat mulia, yaitu konsep gotong-royong. Artinya, warga (peserta) yang tidak sakit memberikan sumbangan pembiayaan kepada peserta yang sakit. Sedangkan, pembiayaan kesehatan pada peserta yang kurang mampu diambilkan dari subsidi dari pemerintah. Namun pada kenyataannya, banyak peserta BPJS Kesehatan yang tidak membayar iuran bulanan. Menurut direktur BPJS Kesehatan, beberapa peserta bahkan hanya membayar tunggakan saat sakit (peserta membutuhkan pelayanan kesehatan). Setelah itu, peserta kembali tidak melakukan pembayaran.
Menurut penulis, permasalahan tunggakan iuran peserta BPJS Kesehatan mandiri adalah hal yang harus diselesaikan oleh manajemen BPJS. Artinya, sebagai direksi yang dibayar untuk mengelola BPJS Kesehatan, masalah ini harus mereka selesaikan. Bukan diungkap ke publik seolah-olah mereka adalah pengamat. Karena itu, manajemen BPJS Kesehatan harus BEKERJA dengan cara melakukan evaluasi, baik dari segi kemampuan peserta, maupun dari kualitas pelayanan dari mitra BPJS (Fasilitas kesehatan). Apakah dari segi kemampuan membayar, peserta mengalami kendala ? Atau peserta enggan membayar karena kualitas layanan yang diberikan BPJS Kesehatan kurang baik?
Apabila review dan kajian telah dilakukan oleh manajemen BPJS Kesehatan, maka dapat diambil tindakan. Misalnya mulai mempertegas sanksi bagi peserta yang memiliki tunggakan pembayaran. Tidak hanya sanksi administratif, BPJS Kesehatan dapat menerapkan sanksi keaktifan kartu kepesertaan. Misalkan setelah pelunasan tunggakan, selain sanksi administratif, karu BPJS Kesehatan akan diaktifkan setelah selang waktu tertentu. Hal ini mungkin dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kedisiplinan peserta.
Permasalahan data kepesertaan BPJS Kesehatan
Perbaikan data kepesertaan BPJS Kesehatan tidak hanya terkait pembaharuan data peserta, tetapi juga perbaikan proses kepesertaan BPJS Kesehatan. Terutama pada proses seleksi calon peserta PBI. Harus diakui bahwa permasalahan data kepesertaan PBI adalah kesalahan pemerintah. Peserta PBI adalah masyarakat yang kurang mampu. Namun, seringkali data calon kepesertaan PBI tidak benar-benar valid. Artinya, banyak data yang masuk sebagai peserta PBI bukan data terbaru.
Mengacu pada permasalahan ini, penulis menyarankan agar proses kepesertaan PBI untuk diperbaiki. Pemerintah harus melakukan peninjauan/evaluasi langsung pada calon peserta PBI. Identifikasi masyarakat kurang mampu calon penerima PBI, harus dilakukan dengan melibatkan RT & RW sebagai orang yang paling tahu kondisi masyarakat. Karena itu, sebelum turun ke lapangan, pemerintah desa setempat (dukuh, RT, RW) harus sudah merekap data warganya yang menjadi calon peserta PBI. Sehingga saat verifikator datang, tinggal mendiskusikan mana yang paling layak. Keterlibatan RT & RW sangat penting untuk mengeliminasi kesalahan pendataan yang selama ini dilakukan.
Dalam daftar calon peserta PBI, menulis mengusulkan ada cadangan calon peserta PBI. Data cadangan calon peserta PBI yang dimaksud adalah data calon peserta yang akan diajukan apabila terdapat peserta terdaftar yang sudah tidak aktif. Selain evaluasi data calon peserta PBI, pemerintah juga perlu melakukan evaluasi masyarakat yang telah menjadi peserta PBI. Sehingga apabila dirasa sudah mampu, status peserta PBI dapat diajukan menjadi peserta mandiri.
Manipulasi data gaji karyawan
Pada Perpres No 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan Pasa 16 B, disebutkan bahwa iuran jaminan kesehatan bagi peserta pekerja Penerima upah yang terdiri atas pegawai Negeri sipil, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, pimpinan dan anggota DPRD, serta Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau upah per bulan. Dengan ketentuan : 3% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 2% (satu persen) dibayar oleh Peserta. Sedangkan untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU), dapat mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan secara bertahap dengan memilih program sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta. Namun sampai saat ini, masih banyak perusahaan yang menganggap iuran premi BPJS sebagai beban.
Banyak perusahaan mengakali iuran dengan menurunkan gaji karyawan yang dilaporkan pada BPJS. Bahkan ada juga perusahaan yang hanya melaporkan data sebagian dari karyawannya (sebagian karyawan tidak diberikan jaminan perlindungan kesehatan). Manipulasi data ini banyak dilakukan perusahaan agar tanggungannya atas jaminan kesehatan karyawan menjadi berkurang. Hal ini tentunya akan mengakibatkan iuran yang masuk ke BPJS tidak sebanding dengan biaya jaminan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. Sehingga perlu dilakukan pembenahan pada Perpres No 19 Tahun 2016 di atas.
Terkait hal ini, sekali lagi penulis mengatakan kepada direktur BPJS Kesehatan bahwa ANDA ADALAH EKSEKUTIF BUKAN PENGAMAT. Karena itu, sebagai orang yang digaji untuk mengeksekusi program BPJS Kesehatan, maka segeralah mencari solusi atas permasalahan ini. Menurut penulis, sebaiknya penggunaan prosentase upah sebagai dasar iuran BPJS hanya diterapkan untuk pegawai negeri saja. Karena data penggajian pada pegawai negeri lebih tertata dan mudah dilacak. Sehingga akan mempermudah BPJS Kesehatan untuk melakukan pengendalian dalam proses kolektivitas iuran BPJS. Upaya ini tentunya dapat mengurangi praktik manipulasi data yang dilakukan perusahaan. Sedangkan untuk karyawan swasta dapat memilih iuran sesuai dengan kemampuan dan kelas BPJS Kesehatan.
Potensi penyalahgunaan regulasi dengan memberikan pelayanan rumah sakit lebih tinggi dari seharusnya
Kerjasama dengan BPJS Kesehatan merupakan peluang RS untuk meningkatkan kunjungan. Meskipun tarif BPJS Kesehatan seringkali lebih rendah dari tarif RS, omset RS tetap akan meningkat apabila kerjasama ini dikelola dengan baik. Pada kondisi normal, masalah tarif ini bukan hal yang bermasalah. Namun, pada kondisi di mana pasien non BPJS cukup signifikan, hal ini dapat menimbulkan kecenderungan RS untuk mengedepankan pelayanan pasien Non BPJS. Sehingga pasien BPJS sering didorong untuk pindah ke kategori pelayanan yang lebih tinggi dengan naik kelas perawatan. Konsekuensinya, pasien BPJS harus membayar biaya selisih lebih atas layanan yang diterima.
Kerjasama antara BPJS dan RS sebersifat “setara”. Artinya, kerjasama ini seharusnya menguntungkan kedua belah pihak. Dalam kerjasama ini, prioritas utama adalah pelayanan terbaik untuk pasien (peserta BPJS). Karena itu, saran penulis kepada direktur BPJS Kesehatan, “JANGANLAH MENJADI PENGAMAT, KARENA ANDA ADALAH EKSEKUTOR”. Apabila RS tidak melakukan pelayanan terbaik atau menyalahi penjanjian kerjasama, maka direktur BPJS Kesehatan harus dengan tegas memutus kontrak kerjasama RS.