FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN SELANDIA BARU MENANGANI PANDEMI COVID-19
Pendahuluan
Pemerintah Selandia Baru memperkenalkan langkah-langkah pencegahan penyakit, beberapa hari setelah WHO menyatakan wabah virus corona sebagai darurat kesehatan masyarakat internasional pada 30 Januari 2020. Mengantisipasi masuknya virus COVID-19, pemerintah Selandia Baru menanggapi dengan pelarangan terhadap masuknya penumpang maskapai yang berasal atau bepergian melalui China selama periode 14 hari sebelum kedatangan. Namun, penerbangan transit ke tempat lain diizinkan. Kebijakan ini memungkinkan penduduk Selandia Baru dan pendatang dari negara lain dapat masuk asalkan mereka setuju untuk mengisolasi diri selama 14 hari.
Kasus COVID-19 mulai terdeteksi di Selandia Baru sebelum 28 Februari 2020, di tengah musim pariwisata musim panas. Setelah terdapat 102 kasus pasien COVID-19, pemerintah Selandia Baru mulai melakukan lockdown, pada 25 Maret 2020. Lockdown Selandia Baru sangat ketat, & salah satu yang paling ketat di dunia. Semua sekolah, tempat umum, dan bisnis yang tidak penting, termasuk restoran dan layanan jasa untuk ditutup. Pemerintah melarang pertemuan publik dan pribadi di luar kawasan pemukiman dan menginstruksikan penduduk untuk tinggal di rumah, dengan beberapa pengecualian.
Pada tanggal 9 April, MENKES Selandia Baru mengeluarkan perintah yang mewajibkan semua maskapai penerbangan atau penumpang laut yang memasuki Selandia Baru dari luar negeri untuk menjalani pengujian medis dan karantina di fasilitas karantina yang diawasi. Langkah ini diyakini dapat menekan masuknya virus ke Selandia Baru, walaupun saat itu telah terkonfirmasi lebih dari 1.200 kasus. Setelah kasus COVID-19 terus meningkat selama dua belas hari setelah lockdown, jumlah kasus baru Selandia Baru kemudian mulai menurun drastis. Penurunan terjadi dari 89 kasus per hari pada 5 April menjadi hanya sembilan kasus perhari pada tanggal 19 April 2020. Pada tanggal 27 April, pemerintah Selandia Baru mulai melonggarkan lockdown, meskipun dengan pembatasan jarak yang diberlakukan. Pejabat pemerintah selanjutnya mengurangi pembatasan pada 13 Mei, ketika jumlah kasus baru mencapai nol, dan mencabut seluruhnya pada 8 Juni 2020 dengan pemulihan pasien COVID-19 terakhir yang diketahui di Selandia Baru. Secara keseluruhan, lockdown nasional Selandia Baru berlangsung selama 26 hari untuk fase parah dan 51 hari untuk gabungan fase parah dan sedang. Pada februari 2021, negara dengan populasi 2,8 juta orang tersebut, dilaporkan hanya memiliki 2.300 kasus COVID-19, dengan 25 kematian, sejak awal pandemi[1].
Faktor berpengaruh dalam keberhasilan menangani COVID-19?
Menurut penulis, berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemerintah Selandia Baru dalam menangani pandemi;
- Komunikasi yang efektif. Aspek yang cukup signifikan dalam keberhasilan Selandia Baru menangani pandemi COVID-19 adalah ”komunikasi efektif” yang dilakukan oleh negara. Pemerintah Selandia Baru mengimbau seluruh penduduk untuk bersatu sebagai “tim ” untuk melindungi keluarga, teman, dan tetangga mereka. Perdana Menteri Ardern, dalam pidatonya tanggal 23 Maret 2020 menyatakan bahwa ”warga Selandia Baru bergerak ke isolasi diri sebagai sebuah bangsa". Meskipun penguncian itu kejam, Perdana Menteri menawarkan kepada warganya harapan (jika bukan janji) bahwa penguncian juga akan singkat (kira-kira empat minggu) jika mereka mematuhi pembatasan, & akan lebih lama jika mereka gagal mematuhinya.
- Kecepatan penanganan oleh negara. Prof Martin Berka (ekonom di Universitas Massey, Selandia Baru), mengatakan bahwa para pejabat melakukan "pekerjaan yang sangat luar biasa" dalam melaksanakan penguncian Selandia Baru. Bahkan pada puncaknya, Selandia Baru hanya memiliki 89 kasus dalam sehari. "Mereka benar-benar melibatkan pikiran dan hati penduduk untuk melakukan hal yang tidak terpikirkan, mengatakan 'pulang dan tinggal di sana selama bagian terbaik dari enam minggu'," katanya. Waktu yang dibutuhkan oleh penguncian digunakan untuk menyempurnakan pengujian ekstensif dan operasi pelacakan kontak. Selandia Baru dapat melakukan 10.000 tes sehari dan ketika sebuah kasus dikonfirmasi, pelacak kontak mulai bekerja untuk memberi tahu siapa pun yang berinteraksi dengan mereka dan menyuruh mereka untuk diisolasi. WHO telah memuji Selandia Baru karena bertindak cepat, menjadikannya sebagai contoh bagi negara lain.
- Kebijakan yang didukung warga negara. Kesadaran masyarakat menjadi salahsatu kunci keberhasilan Selandia Baru dalam menangani pandemi COVID-19. Hal ini tercermin dengan tingkat kepatuhan masyarakat yang tinggi selama kebijakan lockdown di Selandia Baru. Meskipun pembatasan di Selandia Baru telah menimbulkan tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi, polisi tetap mendorong warga untuk melaporkan pelanggaran dan banyak warga melakukannya, dan menghasilkan lebih dari 336 penuntutan selama beberapa minggu Kebijakan pemerintah juga mendapat dukungan publik yang tinggi. Hal ini tercermin dalam jajak pendapat yang menunjukkan bahwa lebih dari 80% masyarakat mendukung tindakan pemerintah.
- Keuntungan negara kecil. Lokasi Selandia Baru yang terisolasi dan kepadatan penduduk yang relatif rendah tentu membantu upayanya penangani OVID-19. Walaupun demikian, Prof Baker mengatakan bahwa itu hanya keuntungan kecil. Menurutnya, strategi yang diterapkan pemerintah Selandia Baru dapat bekerja di mana saja yang memiliki pemerintahan dan infrastruktur yang berfungsi.