DAPATKAH INDUSTRI PELAYANAN KESEHATAN MENERAPKAN MODEL BISNIS BERBIAYA RENDAH? (Part 2)
Dorongan untuk menerapkan model bisnis berbiaya rendah di RS
Salahsatu pendorong untuk menerapkan model bisnis berbiaya rendah atau strategi kepemimpinan biaya (cost leadership strategy/CLS) di RS adalah kebijakan JKN (BPJS). Pelayanan berbasis nilai (paket layanan dengan INA CBGs) mengharuskan RS untuk melakukan pengendalian biaya. Sebagai bagian dari industri pelayanan kesehatan, RS yang mengalami dampak yang cukup besar dibandingkan dengan fasilitas kesehatan lainnya yang melayani peserta BPJS (seperti Puskesmas, dokter praktek, klinik, dll). Hal ini terlihat pada awal di terapkannya kebijakan BPJS, dimana beberapa RS menolak kebijakan ini karena dinilai rendahnya iuran yang dibayarkan & tidak dapat menutup biaya operasionalnya.
Kebijakan JKN dengan BPJS-nya, merupakan suatu tantangan bagi manajemen RS. Bagi RS dengan utulisasi rendah, adanya pasien BPJS akan meningkatkan utilisasinya. Jumlah kepesertaan BPJS yang cukup besar akan menguntungkan RS. Sebagai informasi, sampai dengan 30 Oktober 2015 kepesertaan BPJS tercatat sebanyak 153.721.329 (sumber : http://bpjs-kesehatan.go.id). Hal ini akan sangat mungkin bertambah dengan masuknya BPJS sukarela. Bahkan saat ini, terus terjadi pergeseran dari aspek jaminan pasien, dari pasien pribadi ke BPJS. Total kunjungan pasien BPJS terur meningkat dibandingkan dengan pasien pribadi atau lainnya. Bahkan ada RS yang jumlah pasien BPJS nya telah melebihi 50% dari total pasien secara keseluruhan.
Gambaran umum implementasi bisnis berbiaya rendah di RS
Apabila kita melihat dari aspek biaya, terdapat 2 hal yang penting yaitu biaya variable & biaya tetap. Biaya variable akan naik atau turun berdasarkan jumlah pasien (tidak berpengaruh terhadap jumlah pasien). Sedangkan biaya tetap, pada kisaran tertentu akan sangat terpengaruh oleh jumlah pasien. Apabila BOR RS mencapai 40% maka terdapat ”biaya tetap” yang merupakan ”idle capacity” karena terjadi under utilisasi. Hal ini akan dapat teratasi dengan peningkatan BOR. Melalui kerjasama dengan BPJS dengan jumlah kepesertaan yang besar, diharapkan akan mendorong tingkat utilisasi RS meningkat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa peserta BPJS merupakan pasar yang besar, dan sangat mungkin pada suatu saat sebagian besar masyarakat Indonesa merupakan peserta BPJS. Karena itu, manajemen RS seharusnya mulai memikirkan untuk mengambil pasar ini dengan menerapkan model bisnis berbiaya rendah. Perlu adanya strategi khusus yang harus dilakukan oleh RS agar tetap survive & berkembang dengan pasien BPJS. Kenyataannya saat ini, ada RS yang dapat hidup & berkembang dengan pasar pasien BPJS dengan menggunakan strategi tertentu.
Dalam testimoni Direktur Utama RS Pelni –Jakarta[1], menyebutkan bahwa RS yang dipimpinnya berhasil meningkatkan fasilitas layanan kesehatan dengan penambahan berbagai teknologi mutakhir. Bahkan sejak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, nilai jasa medik untuk para dokternya juga meningkat hingga 45 persen. Hal pertama yang dilakulan RS Pelni adalah memperbaiki proses antrian di rumah sakit, mengingat jumlah pasien yang berobat di era JKN semakin meningkat. Dengan memperbaiki proses tersebut, antrean panjang di RS bisa diminimalisir.
Saat mulai menerima pasien BPJS Kesehatan, tidak dipungkiri kalau RS Pelni juga sempat kewalahan menerima pasien yang membludak. Bahkan ketika itu proses administrasi untuk satu pasien saja bisa memakan waktu hingga satu jam. Namun manajemen RS Pelni dengan sigap langsung melakukan berbagai perbaikan, sehingga layanan registrasi untuk satu pasien saat ini bisa ditangani dalam waktu 3-5 menit saja
“Untuk mempercepat proses registrasi, kemampuan SDM-nya kita tingkatkan. Kita juga memakai sistem antrean dan tentunya didukung oleh IT atau e-Medical Record. Para manajer rumah sakit pun harus turun langsung ke lapangan untuk memastikan proses antrean berjalan lancar,” paparnya.
Masih mengacu pada testimony diatas, 60% dari pasien rawat jalan merupakan pasien BPJS Kesehatan. Sedangkan untuk pasien rawat inap, 80 persennya adalah pasien BPJS Kesehatan. Dengan pengelolaan yang benar, RS Pelni bisa memperoleh surplus lewat pembiayaan bertarif INA-CBGs, sehingga pasien merasa puas karena terlayani dengan baik, RS pun mendapatkan keuntungan. Dengan mengeliminasi aktifitas yang tidak memberikan nilai, RS bisa mendapatkan value, yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan tenaga medis, perawat, dan seluruh karyawan RS.
Satu hal yang juga penting menurut testimony di atas adalah langkah perbaikan flow penagihan yang dimulai dari pengumpulan data, hingga verifikasi internal. Seluruh proses ini harus dilakukan oleh tim yang memang expert di bidangnya, dan harus dilakukan dengan jujur. Pengumpulan data juga bukan hanya menjadi tanggung jawab tim casemix saja, melainkan jadi tanggung jawab bersama. Dokter, perawat, dan manajemen harus ikut membantu agar rekam medis rumah sakit benar-benar lengkap dan akurat.
Bagamana untuk mengimplementasikan model bisnis berbiaya rendah? Akan terjawab pada part 3.
[1] Testimoni Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV (K) (Direktur Utama RS Pelni –Jakarta); Pasien Senang, Rumah Sakit Juga Ikut Senang, 2015, www.bpjs-kesehatan.go.id