PERLUNYA MELAKUKAN EVALUASI SISTEM BPJS KESEHATAN SECARA MENYELURUH (Part 2)

Berikut adalah lanjutan dari pembahasan pada artikel PERLUNYA MELAKUKAN EVALUASI SISTEM BPJS KESEHATAN SECARA MENYELURUH (Part 1), terkait evaluasi sistem BPJS Kesehatan.
Kajian terkait evaluasi sistem BPJS secara komprehensif (Lanjutan)
4. Kebijakan kerjasama dengan fasilitas kesehatan
Mengacu pada pasal 7b PERMENKES RI Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional, persyaratan yang harus dipenuhi dalam kerjasama BPJS Kesehatan bagi RS adalah 1) Surat Ijin Operasional; 2) Surat Penetapan Kelas Rumah Sakit; Surat Ijin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik; 3) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan; 4) Perjanjian kerja sama dengan jejaring; 5) sertifikat akreditasi; dan 6) Surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Namun menurut penulis, akan lebih baik apabila aturan point 6 pada bagian detail ditambahkan dengan ”perjanjian kuota ruang perawatan” untuk pasien jaminan BPJS Kesehatan.
Pada dasarnya, kerjasama dengan BPJS Kesehatan merupakan peluang bagi RS untuk meningkatkan jumlah BOR RS. Namun permasalahan akan muncul apabila pada fase tertentu, RS mendapatkan pasien non BPJS lebih banyak. Karena tarif paket BPJS biasanya lebih rendah, maka hal ini dapat memicu RS untuk lebih menerima pasien non BPJS karena dianggap lebih menguntungkan. Oleh karena itu perlu dipertegas kembali, berapa kuota penggunaan kamar untuk pasien BPJS. Sehingga dalam kondisi pasien non BPJS lebih banyak, tidak berdampak pada layanan pasien BPJS yang terbengkalai. Selain mempertegas perjanjian terkait kuota ruang perawatan pasien BPJS, perlu juga dipikirkan untuk pemberian sanksi bagi RS yang menyalahi perjanjian.
5. Transparansi melalui sistem informasi
Selain evaluasi, masalah kecenderungan fasilitas kesehatan untuk melakukan kecurangan juga dapat diantisipasi dengan transparansi sistem informasi RS (lihat pada artikel PERLUNYA PEMBENAHAN SISTEM DAN KEBIJAKAN BPJS KESEHATAN). BPJS Kesehatan dapat menyediakan media resmi yang memuat informasi mengenai ketersediaan kuota ruang perawatan bagi pasien. Transparansi sistem informasi dapat dilakukan dengan investasi pada sistem terintegrasi antara fasilitas kesehatan dengan BPJS Kesehatan
Media resmi yang penulis maksud adalah berupa software terintegrasi antara RS dengan BPJS Kesehatan, yang memuat informasi detail jumlah ruang perawatan yang terpakai/tersedia secara real time per RS. Tujuannya adalah untuk memperkecil kemungkinan RS untuk melakukan kecurangan demi keuntungan yang sepihak. Sehingga pasien dapat menerima perawatan sesuai dengan haknya, dan RS dapat melakukan apa yang menjadi kewajibannya.
6. Review tarif
Aturan terkait besaran iuran bagi peserta mandiri BPJS Kesehatan termuat dalam Pasal 34 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, yaitu Kelas III Rp 25.500; Kelas II Rp 51.000; Kelas I Rp 80.000. Dengan adanya defisit BPJS Kesehatan, muncul usulan untuk menaikkan iuran/premi bulanan pada peserta mandiri. Padahal sebelum menetapkan kenaikan tarif, banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Seperti angka kesakitan, kemampuan peserta BPJS mandiri, dll.
Kenaikan iuran peserta BPJS mandiri tentunya dapat menyebabkan keberatan bagi sebagian peserta yang memiliki pendapatan di bawah standar minimum. Oleh sebab itu, sebelum menaikkan tarif premi BPJS Kesehatan, perlu dipikirkan juga untuk merapikan dan memperbaiki data kepesertaan. Data kepesertaan yang dimaksud adalah data keaktifan peserta dan tagihannya. Tunggakan iuran BPJS Kesehatan dapat terjadi mungkin karena peserta sudah meninggal dunia namun pihak keluarga belum memperbaharui informasi, double data kepesertaan dalam Kartu Keluarga, double NIK, atau hal lainnya. Dengan demikian, BPJS Kesehatan dapat mengevaluasi iuran yang tidak terbayarkan oleh peserta mandiri. Apabila iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan memang tetap harus naik, sebaiknya penyesuaian iuran dilakukan secara bertahap.
7. Kepesertaan BPJS Kesehatan
Ketentuan pendaftaran peserta BPJS Kesehatan dalam Pasal 2 ayat 2 Peraturan BPJS Kesehatan No. 4 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pembayaran Peserta Perorangan BPJS Kesehatan adalah meliputi seluruh anggota keluarga yang terdaftar pada Kartu Keluarga. Dengan ketentuan ini, calon peserta tidak dapat mendaftarkan untuk seorang diri atau sebagian anggota keluarganya. Karena pada sistem BPJS Kesehatan, pendaftaran calon peserta harus mencantumkan NIK Kartu Keluarga. Kemudian, sistem BPJS akan secara otomatis menampilkan data anggota keluarga yang tercatat dalam Kartu Keluarga. Sehingga data anggota keluarga yang muncul secara otomatis harus didaftarkan juga.
Meskipun pendaftaran peserta mandiri BPJS Kesehatan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dengan premi masing-masing, tetapi bagi sebagian masyarakat ketentuan ini masih memberatkan. Misalnya, dengan iuran peserta BPJS saat ini untuk kelas II sebesar Rp. 51.000, maka untuk satu keluarga yang terdiri dari 5 anggota harus membayar sebesar Rp.255.000 perbulan. Belum lagi apabila iuran peserta BPJS dinaikkan. Karena itu, perlu dipikirkan pendaftaran peserta mandiri dibebaskan untuk mendaftarkan berapa anggota keluarganya. Hal ini dikarenakan, ada juga anggota keluarga yang telah memiliki asuransi lain, atau tidak ingin mendaftar asuransi.
8. Jumlah direksi yang terlalu banyak
Menurut UU RI Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pada pasal 23, disebutkan bahwa jumlah direksi terdiri atas paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur profesional. Dalam situs bpjs-kesehatan.go.id, direksi BPJS Kesehatan saat ini berjumlah 8, yaitu meliputi; 1) Direktur utama; 2) Direktur Perencanaan, Pengembangan dan Manajemen Risiko; 3) Direktur Kepatuhan, Hukum, dan Hubungan Antar Lembaga; 4) Direktur Keuangan dan Investasi; 5) Direktur Teknologi dan Informasi; 6) Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta; 7) Direktur SDM dan Umum; 8) Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan.
Menurut penulis, jumlah direksi BPJS Kesehatan saat ini terlalu banyak. Hal ini tentunya akan membuat pengeluaran gaji dan insentif direksi menjadi semakin membengkak. Padahal, BPJS Kesehatan lebih membutuhkan sejumlah SDM lapangan yang bertugas mereview dan melayani peserta BPJS, disamping mengevaluasi layanan RS. Banyaknya direktur di BPJS Kesehatan membuat organisasi ini ”seperti orang yang kegemukkan” yang kurang efektif bergerak.
Terkait dengan jumlah direksi BPJS, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali hal tersebut. Menurut penulis, idealnya direksi BPJS Kesehatan maksimal hanya 3 orang saja. Karena, BPJS lebih membutuhkan SDM di struktur menengah ke bahwa baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah (Propinsi). SDM ini nantunya bisa diefektifkan untuk melakukan evaluasi pada implementasi BPJS Kesehatan.