EVALUASI TERKAIT KEBIJAKAN KERJASAMA BPJS KESEHATAN DENGAN RS DAN PENYEDERHANAAN ALUR LAYANAN PASIEN BPJS
Pendahuluan
BPJS Kesehatan dan fasilitas kesehatan diharapkan dapat bekerjasama untuk menyediakan pelayanan kesehatan terbaik bagi pasien. Pada tulisan ini, kami mengangkat satu kasus terkait BPJS Kesehatan yang diminta untuk membantu memangkas antrean pasien. Kasus berikut, mengacu pada pemberitaan dalam situs www.beritasatu.com yang dipublikasi pada tanggal 17 April 2019:
“Anggota Komisi IX DPR, Marinus Gea, mendorong BPJS Kesehatan dan pihak RS untuk segera memperbaiki pelayanan kesehatan pada masyarakat. Salah satu perbaikan yang mendesak dan banyak dikeluhkan oleh peserta BPJS adalah panjangnya antrean. Perbaikan ini penting agar tingkat kepercayaan masyarakat tidak semakin memburuk. Fasilitas kesehatan seperti fasilitas inap di Puskesmas dan RS diharapkan untuk dapat ditingkatkan. Karena saat ini, ketersediaan tempat tidur RS masih jauh dari kata ideal. Cukup banyak laporan yang masuk terkait pelayanan bagi pasien BPJS, antara lain seputar antrean bagi pasien BPJS yang terbilang panjang dan memakan waktu. Pasien BPJS juga, seringkali kehabisan tempat untuk rawat inap. Dan keluhan terkait pembatasan kuota yang diterapkan bagi pasien yang akan menjalani pemeriksaan di RS”
Analisis kasus & saran penulis
Masalah panjangnya antrean dan tidak tersedianya ruang perawatan rawat inap untuk pasien BPJS, sering terjadi. Antrean yang lama dapat mencerminkan inefisiensi layanan dan sumber daya, serta ketidakpastian waktu layanan. Dalam layanan kesehatan, kepuasan dan kepercayaan pasien sangat penting. Oleh karena itu, area ini memerlukan perhatian khusus dan peninjauan ulang. Sehingga diperlukan pembenahan terkait teknis maupun maupun kebijakan alur layanan pasien.
Berdasarkan gambaran diatas, berikut ini adalah beberapa saran penulis terkait atas hal tersebut, yaitu;
- Perubahan kebijakan terkait informasi hunian pasien,
Terkait dengan kuota hunian pasien BPJS di RS (kelas 1, 2 & 3), perlu dipertegas sejak BPJS bekerjasama dengan FASKES khususnya RS. Hal ini penting agar terjadinya transparansi antara BPJS dan RS terkait fasilitas hunian yang ada. Dalam konteks ini, manajemen BPJS Kesehatan perlu melakukan 2 langkah berikut;
- Perbaikan kebijakan/peraturan terkait kerjasama dengan FASKES
Secara bisnis, BOR RS yang rendah akan menyebabkan banyaknya idle capacity seperti biaya SDM, penyusutan, dll. Hal ini akan menyebabkan kerugian bagi RS. Melalui kerjasama dengan BPJS, RS akan mempunyai peluang untuk mendapatkan pasien BPJS yang akhirnya akan meningkatkan BOR RS. Walaupun potensi untuk meningkatkan BOR melalui kerjasama dengan BPJS, namun, tarif (paket) pasien BPJS biasanya lebih rendah dari tarif RS. Sehingga dalam keadaan normal, RS sebenarnya lebih senang dengan pasien non BPJS karena akan lebih menguntungkan.
Permasalahannya akan muncul saat RS yang telah bekerjasama dengan BPJS, mulai mendapatkan pasien non BPJS lebih banyak. Pada kondisi ini, sangat rasional bagi RS untuk lebih mengutamakan pasien non BPJS di bandingkan pasien BPJS. Namun, hal ini akan merugikan pasien BPJS atau BPJS secara keseluruhan.Karena itu, penggunaan kamar kelas 1, 2, & 3 untuk pasien BPJS perlu dipertegas sejak kerjasama awal antara RS dengan BPJS, terkait dengan;
- Berapa kuota (tempat tidur) pasien BPJS rawat inap yang akan disiapkan RS?,
- Bagaimana apabila RS tidak dapat memenuhi kuota yang dijanjikan terkait pasien BPJS?.
Agar hal tersebut menjadi lebih jelas dan terjadinya transparansi informasi kuota rawat inap fasilitas kesehatan (RS), maka perlu adanya tambahan kebijakan (mereview peraturan menteri kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional) terkait syarat-syarat kerjasama antara BPJS dengan RS. Karena itu, perlu melakukan review atau melakukan perubahan kebijakan menteri kesehatan khususnya terkait pasal Pasal 7b yang berisi syarat kerjasama antara BPJS kesehatan dengan FASKES khususnya RS. Usulan kami, sebaiknya dalam pasal tersebut ditambahkan satu item lagi yang berbunyi;
Fasilitas kesehatan khususnya RS yang bermitra dengan BPJS kesehatan, harus mau membagikan data informasi real time terkait kuota rawat inap dalam fasilitas kesehatannya.
- Transparansi atas informasi hunian rawat inap secara real time
Apabila persayaratan kerjasama antara BPJS kesehatan dengan RS, dalam peraturan menteri kesehatan no Nomor 71 Tahun 2013 telah ditambahkan item yang kami usulkan maka langkah selanjutnya dalam mengatur informasi penggunaan kamar RS secara real time. Transparansi atas informasi ini dapat didukung dengan ketersediaan sistem informasi yang memadai.
Fasilitas kesehatan/RS harus diwajibkan untuk melaporkan informasi kuota ruang rawat inap secara real time setiap hari. BPJS Kesehatan atau Dinas Kesehatan dapat menyediakan wadah untuk pelaporan informasi ini secara online. Upaya ini dapat dilakukan untuk pertanggungjawaban fasilitas kesehatan sebagai mitra BPJS Kesehatan terkait pelayanannya pada pasien. Selain itu, upaya ini juga dapat mencegah adanya kemungkinan kecurangan fasilitas kesehatan. Seperti dalam kasus di atas, fasilitas kesehatan seringkali menyampaikan bahwa tidak memiliki ketersediaan ruang rawat inap.
- Penyederhanaan alur layanan pasien BPJS secara sistematis
Keluhan terkait panjangnya antrean untuk memverifikasi layanan yang akan didapatkan pasien BPJS di fasilitas kesehatan. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan peninjauan ulang alur layanan BPJS. Apakah terdapat proses yang berulang atau tidak, apabila ada, maka manajemen BPJS harus melakukan penyederhanaan alur layanan. Alur layanan yang lancar dapat didukung dengan adanya sistem informasi terintegrasi.