BOS: MENDOBRAK RINTANGAN KOGNITIF
Pendahuluan
Kepemimpinan tipping point melandaskan diri pada pengetahuan untuk mengilhami perubahan cepat pada kerangka berpikir, yang didorong secara internal oleh pikiran orang itu sendiri. Untuk merobohkan rintangan kognitif, para pemimpin tipping point membuat orang merasakan perlunya perubahan dengan dua cara. Tulisan ini akan membahas istilah ”naik gorong-gorong listrik”, sebagai suatu upaya dalam mendobrak rintangan kognitif. Pembahasan dalam tulisan ini tetap mengacu pada buku Renée Mauborgne & W. Chan Kim (2005) berjudul, Blue Ocean Strategy(BOS).
Naik “Gorong-Gorong Listrik”
Untuk mendobrak status guo, karyawan harus menghadapi masalah-masalah operasional terburuk. Jangan biarkan petinggi perusahaan, pegawai kelas menengah, atau pegawai apa pun mencoba membuat hipotesis soal realitas. Angka-angka bisa diperdebatkan dan tidak memotivasi, sementara berhadapan dengan kinerja yang buruk itu mengguncangkan dan sulit dihindari, tapi bersifat praktis. Pengalaman langsung memberikan pengaruh tak proporsional kepada tindakan cepat menjatuhkan rintangan kognitif.
Pada 1990-an, sistem kereta bawah tanah New York begitu menakutkan dalam hal keamanan sehingga dijuluki “gorong-gorong listrik”. Pemasukan merosot tajam ketika warga memboikot sistem tersebut. Namun, anggota departemen Polisi Transportasi New York (New York Transit Police) membantah kenyataan ini. Kenapa? Hanya tiga persen dari kejahatan-kejahatan utama di kota yang terjadi di kereta bawah tanah. Jadi, tak peduli seberapa keras publik bersuara, pihak yang berwenang tidak mau mendengarnya. Tidak ada kebutuhan yang dirasakan untuk memikirkan ulang strategi kepolisian. Kemudian, Bratton ditunjuk untuk memegang kendali, dan dalam hitungan minggu, ia mampu mendobrak status guo dalam pikiran polisi kota itu. Bagaimana caranya? Bukan dengan kekuatan, ataupun dengan berargumen lewat angka-angka, melainkan dengan membuat para personel tingkat atas dan menengah dimulai dari dirinya sendiri; naik gorong-gorong listrik itu setiap siang dan malam. Sebelum Bratton masuk, hal ini tidak pernah dilakukan.
Meskipun statistik mungkin memberitahu polisi bahwa kereta bawah tanah itu aman, kini mereka mengalami apa yang dialami warga New York setiap hari: sistem kereta bawah tanah yang berada di tubir anarki. Geng-geng remaja hilir-mudik, orang melompati turnstile (portal keluar-masuk), dan penumpang harus menghadapi grafiti, pengemis yang memaksa, dan para pemabuk bergelimpangan di bangku kereta. Polisi tidak lagi bisa menghindari kebenaran yang menyesakkan ini. Tidak ada lagi yang bisa membantah bahwa strategi kepolisian saat ini benar-benar perlu meninggalkan status guo-dengan cepat.
Menunjukkan realitas terburuk kepada atasan anda juga bisa mengubah kerangka pikir mereka dengan cepat. Pendekatan serupa bermanfaat dalam membuat para pegawai tingkat atas memahami kebutuhan-kebutuhan seorang pemimpin. Namun, hanya sedikit pemimpin yang memanfaatkan kekuatan dari tamparan keras kenyataan. Mereka malah melakukan kebalikannya. Mereka berusaha mendapatkan dukungan berdasarkan kasus-kasus statistik yang kurang memiliki urgensi dan nuansa emosional. Atau, mereka berusaha mengajukan kasus-kasus keunggulan operasional mereka demi mendapatkan dukungan. Meskipun alternatif-alternatif ini mungkin berhasil, keduanya tidak akan bisa merobohkan rintangan kognitif atasan secepat jika kita menunjukkan kenyataan terburuk. Misalnya, ketika Bratton memimpin divisi kepolisian dari Massachussets Bay Transportation Authority (MBTA), dewan direksi MBTA memutuskan untuk membeli mobil skuad kecil berharga murah sebagai sarana operasional. Ini bertentangan dengan strategi kepolisian baru dari Bratton. Namun, daripada menentang keputusan ini, atau meminta anggaran lebih besar sesuatu yang evaluasinya bisa makan waktu berbulan-bulan, dan hasilnya pun belum tentu ada, Bratton mengundang general manager MBTA untuk mengikuti unitnya mengelilingi distrik.
Supaya sang general manager bisa melihat kebobrokan yang berusaha diperbaikinya, Bratton menjemputnya menggunakan mobil kecil sebagaimana yang sedang dipesan. Ia menggeser bangku mobil ke depan supaya sang manajer tahu betapa sempitnya ruang selonjor kaki untuk seorang polisi berpostur enam kaki, dan kemudian Bratton berkendara sebisa mungkin ke setiap titik rawan. Bratton juga membawa sabuk, borgol, dan pistolnya dalam perjalanan supaya sang manajer tahu betapa sempit ruang yang ada untuk perlengkapan petugas polisi. Setelah dua jam, sang general manager ingin keluar. Ia mengatakan kepada Bratton bahwa ia tidak mengerti bagaimana Bratton bisa tahan berada di dalam mobil sesempit itu untuk waktu yang lama, belum lagi jika ditambah ada seorang penjahat di kursi belakang. Bratton akhirnya mendapatkan mobil lebih besar sebagaimana dituntut oleh strategi barunya.