NONKONSUMEN LEVEL KETIGA DALAM BOS: YANG TERJAUH DARI KOSUMEN YANG ADA
Pendahuluan
Setelah memaparkan bagaimana nonkonsumen level kedua dalam strategi blue ocean (NONKONSUMEN LEVEL KEDUA DALAM STRATEGI BLUE OCEAN), tulisan ini akan menjelaskan mengenai nonkonsumen pada level ketiga. Tingkat ketiga dari nonkonsumen adalah mereka yang terjauh dari konsumen yang sudah ada dalam suatu industri. Umumnya nonkonsumen ini dianggap sebagai konsumen potensial industri lain. Pembahasan dalam tulisan ini mengacu pada buku Renée Mauborgne & W. Chan Kim (2005) berjudul, "Blue Ocean Strategy (BOS)”.
Nonkonsumen Tingkat Ketiga
Tingkat ketiga dari nonkonsumen adalah yang terjauh dari konsumen yang sudah ada dalam suatu industri. Padahal ada peluang untuk menarik nonkonsumen ini menjadi konsumen. Lihat asumsi lama bahwa pemutihan gigi adalah layanan jasa yang semata-mata disediakan oleh dokter gigi, dan bukan oleh perusahaan produk konsumen perawatan mulut. Akibatnya, perusahaan perawatan mulut tidak pernah melirik kebutuhan dari para nonkonsumen ini. Saat mulai menyadarinya, mereka dapat menemukan permintaan dan juga menemukan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberikan solusi pemutihan gigi yang aman, berkualitas tinggi, dan berbiaya rendah. Hasilnya, pasar pun meledak.
Potensi ini berlaku bagi kebanyakan industri. Contohnya pada industri penerbangan pertahanan AS. Umum dikatakan bahwa ketidakmampuan untuk mengendalikan biaya pesawat terbang adalah kelemahan utama dalam kekuatan militer jangka-panjang AS. Dalam kesimpulan laporan Pentagon 1993, biaya yang meroket ditambah dengan anggaran yang menciut, membuat militer tidak memiliki rencana praktis untuk menggantikan armada pesawat tempurnya yang sudah tua. Jika militer tidak bisa menemukan cara lain untuk membangun pesawat terbang, dikhawatirkan AS tidak akan memiliki cukup pesawat terbang untuk membela kepentingannya secara layak.
Biasanya, Angkatan Laut (AL), Korps Komando Operasi AL (KKO AL), dan Angkatan Udara (AU) memiliki perbedaan konsepsi mengenai pesawat tempur yang ideal, sehingga setiap angkatan merancang dan membangun pesawat secara sendiri. Angkatan Laut menekankan pentingnya pesawat tahan lama yang bisa mendarat di dok pesawat induk. KKO AL menginginkan pesawat udara ekspedisi yang mampu melakukan lepas landas dan pendaratan cepat. Angkatan Udara menginginkan pesawat udara yang paling canggih dan cepat.
Secara historis, perbedaan di antara angkatan ini diterima begitu saja, dan industri penerbangan dianggap sebagai memiliki tiga segmen yang khas dan terpisah. Program Joint Strike Fighter (JSF) menentang praktik industri semacam ini. Program ini melihat ketiga segmen sebagai nonkonsumen yang secara potensial belum dijelajahi, potensi yang bisa ditingkatkan menjadi pasar baru dari pesawat tempur yang memiliki kinerja lebih tinggi dan biaya lebih rendah. Daripada menerima segmentasi yang sudah ada dan mengembangkan produk sesuai dengan perbedaan dalam spesifikasi dan fitur yang diminta oleh masing-masing angkatan militer, program JSF mencari kesamaan utama di antara ketiga angkatan militer yang sebelumnya selalu mengabaikan satu sama lain.
Proses ini mengungkapkan bahwa ada dua komponen berbiaya paling mahal yang sama dari pesawat udara ketiga angkatan itu, yaitu peranti lunak dan mesin. Penggunaan dan produksi dari komponen ini secara bersamaan menjanjikan adanya biaya yang besar. Selain itu, meskipun setiap angkatan memiliki daftar panjang mengenai persyaratan-persyaratan khusus, kebanyakan pesawat udara di ketiga angkatan memiliki misi yang sama.
Tim JSF berusaha memahami berapa banyak dari fitur-fitur khusus ini yang sangat memengaruhi keputusan pembelian ketiga angkatan militer tersebut. Menariknya, jawaban dari Angkatan Laut hanya terdiri atas dua faktor, yaitu daya tahan dan perawatan. Dengan pesawat udara diparkir di pesawat induk yang terletak ribuan mil jauhnya dari hanggar perbaikan terdekat, Angkatan Laut menginginkan sebuah pesawat tempur yang mudah dirawat sekaligus tahan lama, sehingga bisa menahan pendaratan di pesawat induk dan hantaman dari air laut. Karena takut dua kualitas penting ini akan dikorbankan demi memenuhi persyaratan dari KKO AL dan Angkatan Udara, Angkatan Laut membeli sendiri pesawat udaranya secara terpisah.
KKO AL juga memiliki banyak perbedaan dalam persyaratan dibandingkan angkatan militer lain. Tetapi, kembali hanya dua persyaratan yang menghalangi mereka untuk melakukan pembelian pesawat secara bersama, yaitu kebutuhan akan pendaratan vertikal lepas landas yang cepat (short takeoff vertical landing/STOVL) dan kemampuan tindakan darurat yang sigap. Untuk mendukung pasukan di lokasi terpencil dan tidak bersahabat, KKO AL membutuhkan pesawat yang bisa berfungsi sebagai jet tempur, tapi bisa mengambang seperti helikopter. KKO AL juga menginginkan sebuah pesawat yang dilengkapi dengan berbagai sarana tindakan darurat, alat untuk meloloskan diri saat terjadi kerusakan mesin, dll.
Karena ditugaskan untuk mempertahankan kedaulatan udara global, Angkatan Udara menuntut pesawat tercepat dan ketangkasan taktik yang prima, dengan kemampuan untuk mengungguli manuver semua pesawat musuh saat ini dan di masa depan. Selain itu juga butuh pesawat yang dilengkapi dengan teknologi pengintaian (stealth), dilengkapi dengan bahan dan kerangka penyerap radar, sehingga pesawat itu tidak terlihat oleh radar dan mudah menghindari rudal dan pesawat musuh. Pesawat dari kedua angkatan militer yang lain tidak memiliki faktor-faktor ini, sehingga Angkata Udara tidak berpikir untuk membeli pesawat macam itu.
Temuan-temuan mengenai nonkonsumen yang belum dijelajahi ini menjadikan JSF sebagai proyek yang layak dan praktis. Tujuannya adalah membangun sebuah pesawat bagi ketiga angkatan militer dengan menggabungkan faktor-faktot kunci tersebut sembari mengurangi atau menghilangkan segala sesuatu yang dianggap lumrah oleh tiap-tiap angkatan, dan tidak memberikan banyak nilai tambah, atau faktor-faktor yang dirancang berlebihan demi memenangi kompetisi.
Dengan demikian, JSF mampu meningkatkan permintaan yang sebelumnya terbagi di antara tiga angkatan tersebut. Pada musim gugur 2001, Lockhead Martin menandatangani kontrak JSF senilai $200 juta, ini adalah kontrak militer terbesar dalam sejarah mengalahkan Boeing. Pesawat pertama JSF F-35 diprogram untuk selesai pada 2010. Sampai saat ini, Pentagon percaya bahwa program ini akan sukses, bukan hanya karena profil strategis dari JSF F-35 memiliki nilai istimewa, melainkan juga karena JSF telah mendapatkan dukungan dari ketiga angkatan militer.