TANTANGAN INDUSTRI PELAYANAN KESEHATAN TAHUN 2020
Pendahuluan
Pada tahun 2020, banyak tantangan yang harus dihadapi industri pelayanan kesehatan. Tuntutan transparansi, kebijakan pemerintah, dan inovasi teknologi, merupakan beberapa tantangan industri ini kedepan. Hal ini masih ditambah dengan tren kenaikan harga obat dan penggunaann Big data, yang membuat tantangan di industry menjadi lebih kompleks dari sebelumnya. Pada kondisi seperti ini, industri pelayanan kesehatan seharusnya mulai mengintegrasikan program hemat biaya dan meningkatkan efisiensi, dan memberikan perawatan pasien dengan sangat baik.
Menurut sebuah tulisan di situs www.sepire.com, ada empat tantangan signifikan yang dihadapi industri kesehatan saat memasuki tahun 2020, yaitu; 1) Rising Drug Costs, 2) Complying with policies, 3) Providing value-based care, & 4) Using big data effectively. Keempat hal yang mempengaruhi industry pelayanan kesehatan di AS tersebut, selanjutnya akan dibahas dibawah ini.
Rising Drug Costs
Pada paruh pertama 2019, harga obat meningkat, dan lebih dari 3.400 item obat telah mencapai peningkatan 17% dibandingkan dengan paruh pertama 2018. Peningkatan harga obat-obatan melampaui pertumbuhan upah dan biaya hidup. Insulin, obat kritis untuk penderita diabetes, harganya hampir dua kali lipat dari 2012 hingga 2016. Obat-obatan umum lainnya juga meningkat pesat, termasuk Mometasone (peningkatan 381%) dan Promethazine/Codeine (326%). Ini adalah tren yang mengkhawatirkan, tidak hanya bagi konsumen tetapi juga layanan kesehatan dan perusahaan asuransi.
Peningkatan harga obat-obatan membuat organisasi pelayanan kesehatan akan terpengaruh secara signifikan. Menurut laporan American Hospital Association dari awal tahun 2019, kenaikan harga obat dan kekurangan yang meluas menghambat anggaran dan operasional RS, termasuk perawatan pasien. Laporan dari 2015 hingga 2017 menunjukkan bahwa rata-rata total pengeluaran obat per RS meningkat sebesar 18,5%.
Complying with policies
Munculnya undang-undang baru, peraturan dan kebijakan pemerintah di AS (dan mungkin saja terjadi di Indonesia) terus berubah, dan mematuhi perubahan ini adalah perhatian utama bagi layanan kesehatan. Selain perubahan Affordable Care Act, ada juga tantangan kebijakan Center for Medicare and Medicaid Services (CMS), yang mengeluarkan ratusan pembaruan setiap tahun. Sebagai contoh, CMS merilis memo pembaruan pada bulan Agustus untuk Medicare Communications and Marketing Guidelines (MCMG) tahun 2020. Peraturan baru akan membuat organisasi pelayanan kesehatan dan asuransi akan kewalahan atas perubahan yang ada.
Providing value-based care
Personalisasi dan penekanan pada "pengalaman pelanggan" adalah tren yang berkembang di dunia konsumen. Industri pelayanan kesehatan harus menyesuaikan diri dengan tren yang sama, yaitu semakin pentingnya pengalaman pasien. Ini berarti bahwa memberikan layanan berbasis nilai bukan layanan fee for services. Transisi ke Merit-based Incentive Payment System (MIPS) adalah proses yang rumit. Idenya adalah untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan inden dari “kuantitas” ke “kualitas.” Dalam fee for services, pendapatan penyedia layanan kesehatan meningkat dengan setiap tes tambahan, perawatan, dan resep. Dari perspektif insentif, biaya setiap layanan lebih penting daripada efektivitas masing-masing layanan.
Dalam model perawatan berbasis nilai, penekanan bergeser ke kualitas dan efisiensi melalui upaya terkoordinasi. Penyedia akan dihargai untuk proses yang efisien dan hasil positif. Penyedia layanan kesehatan dapat menyesuaikan diri dengan format berbasis nilai dengan melakukan upaya yang fokus pada pengurangan biaya, meningkatkan pengalaman pasien, dan meningkatkan kualitas perawatan pasien. selain itu juga menjaga saluran komunikasi terbuka dengan pasien, untuk meningkatkan transparansi harga.
Using big data effectively
Munculnya big data telah meningkatkan industri pelayanan kesehatan dengan mengungkapkan pola dan tren yang dapat dipelajari dan dimanipulasi untuk meningkatkan biaya, efisiensi, dan kualitas perawatan. Tetapi ini hanya terjadi apabila penyedia layanan kesehatan memiliki infrastruktur dan dukungan operasional untuk memanfaatkan big data. Salah satu penyebab yang membatasi adalah teknologi lama yang tidak memiliki fungsionalitas dan skalabilitas yang diperlukan untuk mencapai potensi big data. Hal ini diperkuat saat penyedia layanan kesehatan tidak memiliki kemampuan manajemen data, kontrol, dan staf. Selain itu, ada kesenjangan pengetahuan antara profesional kesehatan dan pakar teknologi informasi. Dalam banyak kasus, tidak ada pihak yang memahami profesi dan kebutuhan pihak lain. Manfaat big data hanya dapat ditingkatkan setelah hal ini diperhitungkan. Untuk menjembatani kesenjangan, eksekutif layanan kesehatan dan mitra IT harus berkomitmen untuk menyelaraskan upaya untuk meningkatkan alur kerja dan perawatan pasien.
Keuntungan dan penggunaan big data juga dapat diartikan berbeda, tergantung pada perspektif. Penyedia layanan kesehatan dapat memfokuskan pandangan mereka pada pemberian perawatan, sementara pembayar mungkin lebih menekankan pada biaya. Namun, kedua belah pihak dapat mengambil manfaat dari berbagi data untuk membentuk perspektif pihak lain dengan lebih baik.